Penulis : Fransiskus HeruÂ
SUNGGUH prihatin dan miris, satu kalimat statement yang kemungkinan sama kita lontarkan atas musibah yang terjadi di Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu pada Selasa (1/8/2023) lalu. Musibah tersebut diderita oleh seorang guru yang matanya diketapel oleh orangtua siswa. Â Â
Berita itu menjadi obrolan yang cukup hangat di berbagai tongkrongan guru pada saat dulu. Saya turut bersimpati kepada korban, dan berita tersebut juga menjadi catatan khusus bagi kita.
Perasaan gusar ada pada tiap diri manusia, mengatasi konflik dengan emosi karena gusar yang diidealiskan bagian dari cara untuk menyelesaikan konflik. Mengatasi konflik secara emosi, bukannya beres malah merembes. Bagaikan api yang disiram bensin, bukannya padam, justru mengobar.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dikutip dari www.kbbi.web.id, emosi bermaknakan: 1.marah; 2.luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat; 3.keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan).
Menurut saya, kasus orangtua siswa yang ketapel guru sampai mengorbankan bola mata guru itu bisa saja dapat memengaruhi ikatan relasi antara guru dengan siswa dan antara guru dengan orangtua siswa.
Sejatinya, emosi karena gusar tidak mendestruksi relasi. Apalah daya, ketika emosi sudah terlanjur mendestruksi relasi. Akibat dari destruksi terhadap relasi guru dengan siswa dan guru dengan orangtua siswa dapat memutus rantai-rantai untuk saling beritikad serta untuk saling berkolaborasi dari pihak-pihak yang terkait. Â
Kehadiran pendidikan karakter di depan kita sangat diperlukan. Karakter sama dengan sifat/watak. Pendidikan karakter adalah pemberian contoh kepribadian (watak/sifat) tanpa membuat pihak lain kurang nyaman, tersakiti atau mungkin dirugikan dalam bentuk pengarahan (lisan) maupun dalam bentuk action (implementasi), yang mana pemberian contoh ini bentuk pemberian contoh yang menjunjung nilai-nilai positif serta menganjurkan agar tidak melanggar norma-norma yang berlaku.
Genetik bawaan sejak dalam rahim dan sentuhan lingkungan pergaulan salah satu faktor penentu karakter yang berfaedah. Kepandaian terhadap ilmu pengetahuan serasa belum komplit tanpa kontribusi berkarakter yang baik. Orang pandai belum tentu berkarakter yang baik.
Berdasar pengalaman subyektif saya, saya merasakan ada perubahan tradisi nilai dan norma di lingkungan sekolah.