Cerita Pendek oleh FRANSISKUS HERU
HAI. Namaku Betmen Jinton Ahe, biasa dipanggil Jinton oleh orang, dan dipanggil Betmen oleh hewan serta dipanggil Ahe oleh hantu. Loh?, enggak sih Kalian mikir "kok dipanggil oleh hewan dan hantu juga?, becanda kok, hehe", Syukur gak dipanggil oleh malaikat pencabut nyawa.
Entah kenapa namaku seperti itu, tapi Ayahku pernah bercerita ke aku kalok namaku mempunyai makna khusus. Dulu, saat diriku masih memakai baju yang ada logo dengan kata 'OSIS', yang ada background berwarna kuning di bagian tepi logonya alias saat aku masih menduduki bangku sekolah menengah pertama kelas tujuh. Mula-mulanya sih enggak Ayah yang langsung bercerita. Pada saat itu, Bokap gue, ehh Ayah aku maksudnya. Dasar gue, hihi dasar aku maksudnya. Dah mulai aku ni terpengaruh budaya bahasa di Jakarta, sambil akunya tersenyum melebar sampe kelihatan dua helai parutan kulit cabe yang melekat di gigi depanku.Â
Aku ingat betul, pada saat itu Ayah lagi ada di rumah kami, Ayah duduk di teras bagian belakang rumah sambil menulis. Awalnya aku mengira, Ayah lagi mencatat hutang-hutangnya yang belum dia bayar. Aku duduk di samping Ayah, kutundukkan kepalaku sedikit. Aku pun bertanya "Ayah lagi nulis apa?", belum sempat Ayah menjawab pertanyaanku. Dengan penuh penasaran, aku geser bola mataku, aku baca pake hati. Aku pun tertawa terliur-liur. Sambil aku tertawa, aku melihat muka Ayah yang berubah menjadi merah bagaikan udang yang direbus dalam kuali dengan suhu panas seribu derajat selsius. Ayah bertanya kepadaku "kenapa Nak?", aku cuma menjawab "lucu Yah, wekawekaweka." Tertawaku di saat itu disertai pula liur yang keluar, air mata yang keluar, bahkan perut aku sampe sakit, bisa jadi juga cacing-cacing di dalam perutku ikut tertawa gegera membaca tulisan si Ayah. Biar aku jelaskan ya, gimana aku tertawa sampe terliur-liur begitu?, bagaimana tidak mungkin untuk tertawa, kecuali orang itu lagi mengidap penyakit stroke, bisa jadilah untuk tidak bisa tertawa secara mulut dan lidah, namun tertawa lewat hati.
"Hallo Dahlia, istriku yang paling cantik se-alam semesta. Cantikmu mengalahkan cantiknya bunga mawar merah dan bunga melati putih, aku yang mulai menua, kamu pun ikut menua bersamaku. Dari pertama kali tangan kita bersalaman, dari pertama kali kita berkenalan, dari pertama kali kita menumbuhkan benih-benih cinta di dalam darah kita. Sampai kita tua bersama-sama sekarang ini. Bagiku, kamu itu sungguh unik. I Love You Istriku, Dahlia."
Begitulah yang masih aku ingat, tulisan yang Ayah tulis pada saat itu. Setelah aku tertawa selama kurang lebih ada dua menit, kemudian Ayahku membalik kertas yang udah diisi dengan tinta hitam dan diisi dengan kalimat syair penuh dari hati nuraninya Ayah. Kertas yang dibalik, dan ditimpa pake pulpen. Mungkin Ayah lagi malu karna aku menertawakan hasil tulisannya itu. Aku mulai mengerem ketawaku yang berliur tadi, kami hening beberapa detik, aku pun bertanya "Ayah, aku mau tanya ke Ayah, adakah arti, makna atau tujuan dari namaku ini?", Ayah menjawab "kamu enggak sakit kan Nak?", enggak Yah, ucapku dengan lantang. Lanjut lisanku "aku nanya serius ni dengan Ayah", jawab Ayahku "memangnya, kenapa Nak?.", sambil Ayah bangun dari kursinya, kemudian Ayahku pergi ke dalam membawa kertas dan pulpennya tadi, lalu Ayah datang kembali dengan seliter minuman kopi, dua gelas yang ada gambar doraemon pembelian Ibu, dan dua bungkus kue coklat beng-beng dengan bungkusan yang berwarna merah muda.
Ayah kembali duduk di kursinya, menuangkan kopi untukku dan menuangkan kopi untuknya. Diminum Nak!, kue itu dimakan!, ucap Ayah kepadaku. Aku yang masih duduk berdampingan dengan Ayah, kuambil kue itu, kubuka, dan kumakan. Kemudian Ayah meminum kopinya dengan meniup kopinya terlebih dahulu karna kopinya masih agak ada panas-panasnya. Aku bergegas meminum kopi buatan Ayah, lalu Ayah berkata "stop!, ditiup dulu kopimu!, masih panas tu", oh iya ya, lupa aku Yah, ucapku. Dasar Jinton, lisan Ayah. Ha itu dia yang mau aku tanyakan sama Ayah, sambil aku meniup kopi dan meneguknya dengan bunyi 'slurrrrruppppp.' Aku mulai obrolan "Yah, kenapa sih namaku itu Betmen Jinton Ahe?, kenapa gak Ronaldinho Pamungkas atau Ronaldinho Barakat Tuah kek?, aku kan pengen banget jadi pesepakbola handal yang terkenal di seluruh dunia", tambah lisanku "lagian pun, kan Ayah dah tau kalok aku pengen jadi pesepakbola terkenal." Kemudian Ayah menjawab "anakku sayang, harusnya kamu bersyukur punya nama, daripada kagak ada nama, kan repot jadinya, mau kamu dipanggil oleh orang lain dengan nama hei 'Manusia Berambut Pendek Berhidung Pesek Berkulit Sawo Matang Beralis Mata Jarang-Jarang', mau?? Kan susah panggilnya, terlalu kepanjangan dan sangat-sangat tidak ada kekhasan yang menyangkut pada dirimu." Besyukurlah Nak terhadap pemberian nama untukmu, ucap Ayahku sambil menatap mataku. Namamu itu dicari dan diberikan oleh tiga orang, pertama dari almarhum Kakekmu. Kakekmu memberikan nama ke kamu 'Betmen'. Kakekmu dulu emang ngefans terhadap superhero yang bernama BatMan, namun diubah penulisannya oleh Kakekmu dulu. Yang penulisannya BatMan diubah menjadi Betmen oleh Kakekmu.
Gak sekedar fans atau menyukai aja dari si karakter BatMan, Kakekmu dulu menyampaikan pada Ayah dan Ibumu kalok BatMan itu ialah pahlawan, dan almarhum Kakekmu ingin kamu menjadi pahlawan bagi siapa pun termasuk kepada kami sebagai Ayah dan Ibumu, serta bagi orang-orang lain yang membutuhkan pertolonganmu. Tapi, ingat!, jangan jadi pahlawan yang terlambat bangun tidur, ehh pahlawan kesiangan maksud Ayah, ucap Ayah. Kata 'jinton' dalam namamu itu dari Ayah sendiri yang memberikannya untuk kamu, ucap Ayah. Alasannya Ayah, apa? Tanya aku. Alasannya ialahhhhh....karena pada saat itu, jinton masih sangat berharga.Â
Tanya Ayah padaku "kamu tau jinton kan?" aku menjawab "tau", gak mungkin kamu gak tau jinton, kita kan asli Dayak Kendayan penduduk Kalimantan Barat. Karet kering yang digumpal dengan air karet itu kan Yah?, bekuan karet lama yang dilumuri dengan air getah pohon karet yang baru, dicampuri pengeras seperti cuka getah, dilumuri, bisa juga direndamkan dengan air getah pohon karet yang telah dicampur dengan cuka getah, dipisahkan dan didiamkan sampai kering dan mengeras atau membeku hingga menjadi gumpalan karet atau ditempat kita namanya jinton. Betul gak Yah? Sahut Ayah "sangat betul, pintar kamu", jawabku "Jinton gitu lo, Anak Ayah." Nak, Ayah ingin kamu berharga bagi orang banyak, Ayah ingin kamu sukses suatu saatnya, ucap Ayah kepadaku sambil memelukku. Oh gitu, alasannya pemberian nama 'Jinton' untuk aku. Baru tau aku Yah, aku kira dulunya itu, pas aku mau diberi nama Jinton, ada jin yang menontonku. Hihi, aku tersenyum bersama Ayahku. Bukan Nak, lisan Ayah. Trus kata Ahe-nya itu Yah, siapa yang kasi nama?, Ayah pun menjawab pertanyaanku "Ibumu yang kasi nama itu." Alasan Ibu apa? Tanyaku pada Ayah, Ibu pun datang sambil menggendong Adiknya Jinton yang belum diberikan sebuah nama. Ehh Ibu, ucap Ayah. Cepat benar Ibu belanjanya?, tanya Ayah kepada Ibuku.
Iya Yah, jawab Ibuku. Kan Ibu cuma belanja untuk keperluan acara besok aja. Aku pun bertanya, acara apa sih Yah, Bu?. Iya, kita ada acara besok paginya itu di rumah ini, di kampung kita ini disebut "Batalah" yang artinya pemberian nama untuk bayi. Oh jadi besok, Dedek diberikan sebuah nama, horee, girangku sambil mengangkat kedua tanganku, sekalian aku mencubit pipi Adekku yang masih kenyal kayak agar agar, dan sesampai Dedek Bayi mungil si imut itu pun menangis, "oaa, oaa, oaa, oaa." Tangis Adekku, yang semakin menangis semakin nambah imutnya. Ya beginilah jurus andalan dari bayi, menangis. Jika bunglon melindungi dirinya dengan cara mengubah warna kulitnya atau dinamakan dengan kamuflase, jika landak melindungi dirinya pake duri-durinya yang super tajam. Aku mau bilang, kalok bayi melindungi dirinya dengan cara menangis.Â
Dalam pikiranku, mumpung Ibuku ada di sini, mending aku tanya. Bu!, panggilku. Iya Nak, jawab Ibu. Tanyaku "Bu, kenapa pada namaku, ada kata Ahe?, artinya, apalah Bu?", Ibuku menjawab "Ahe itu Bahasa Dayak Kendayan, yang artinya adalah Apa." Pada saat kamu diberi nama waktu kamu bayi dulu, Ibu cuma mau kamu itu ada identitas yang menandakan kalok kamu emang asli keturunan Suku Dayak. Sejenis marga gitu kah Bu?, sahutku kepada Ibuku. Yap, betul, jawab Ibuku. Setiap nama, dibaliknya itu pasti ada sejarahnya, ada pepatah mengatakan 'setiap nama adalah doa.' Lisan Ayahku. Nambah lagi, Ayahku berlisan "namamu itu mempunyai sejarah, arti, dan makna khusus." Ucapku "Betmen Jinton Ahe", sebuah nama dari Kakekmu, Ayahmu dan Ibumu, sambung ucap dari Ayahku. Ibuku tersenyum mendengar aku dan Ayah lagi berbincang.
Tadinya, Ibu yang masih berdiri menggendong Adek, kemudian Ibu duduk di kursi tepatnya di samping kanan Ayah. Sedangkan, aku tetap duduk di samping kiri Ayahku. Sembari menggendong Adekku yang masih berumur enam hari empat jam sebelas menit tiga puluh lima detik. Aku melihat jarum jam ditanganku. Tik, tik, tik, tik bunyi jarum jam tangan itu, tik, tepat pada jam delapan pagi lewat tiga puluh menit. Ayah mengelus kening Adekku, kemudian Ayah berkata "hai Anak Ayah, hai Melantias Dara Mela, acup kulup kulup, acup uwu uwu." Apa!! jawab Ibu dengan volume suara versi singa betina yang mengaung. Sontak si Dedek Bayi menangis, mendengar suara Ibuku tadi. Aku terkejut. Oo, jadi kamu masih ingat sama mantanmu, oke-oke, kata Ibu dengan muka yang penuh darah dan keringat amarah, serta memakan kue beng beng dan melempar bungkusnya. Lalu, Ibu berdiri dari samping Ayah, dan masuk ke dalam rumah. Aku bertanya kepada Ayah "Yah, Ibu kenapa?", jawab Ayah "maksud Ayah tadi tu, Ayah mau beri nama Melantias Dara Mela untuk Adekmu." Kalok menurut aku sih Yah, bagus nama itu. Tapi, kenapa Ibu marah? Tanyaku pada Ayahku. Ayah tak menjawab pertanyaanku, Ayah berdiri dan masuk ke dalam rumah.
Ayahku pun masuk ke dalam rumah. Sementara aku ditinggal ngobrol oleh Ayah di teras belakang rumah. Awalnya, itu obrolan santuy, berubah menjadi obrolan "aku harus ngobrol dengan siapa lagi?", ucapku. Kan masih ada aku bersamamu, ucap cicak di atas meja itu. Waduh, sahutku. Kudekatkan telingaku ke cicak itu, hallo Jinton, sahut cicak. Hallo Jinton, sahut semut juga. Lima semut yang memanggilku secara bersamaan, dan dua semut lagi nyedot kopiku di atas meja. Ucapku "memang semut, kecil-kecil, tapi rakus." Aku tarik telingaku dari cicak dan socius-semut itu. Kusandarkan bahuku di kursi, berkatalah aku dalam hatiku "jangan-jangan ada hantu!", aku lari, dan masuk ke dalam rumah menuju toilet. Jangan heran, sebab saat itu, aku memang kebelet pingin boker. Hehe.
Bunyi engsel pintu. Settttt, si Ayah membuka pintu dapur, tak ada Ibu. Ayah jalan lagi, sett, dibuka pintu. Ibu gak ada. Settttt, Ayahku membuka pintu, Ibu gak ada, yang ada hanyalah dua ekor tikus sedang cakar-cakaran, alamak, ucap si Ayah. Ayah-ayah, hadeh. Ya wajar tikus yang ada, Ayah sih malah membuka pintu gudang nyimpan barang-barang bekas. Cari sana, cari sini, Ibu enggak ada. Masuk ruang sana, masuk ruang sini, Ibuku tetap enggak ada. Ke manalah Dahlia cintaku ini, tanya Ayah dalam hatinya. Ayah duduk di kursi di ruang tamu, Ayahku tetap memikirkan istrinya yang entah pergi kemana. Ada sekitar tiga menit Ayah duduk. Oa, oa, oa, diiringi tangisan Ibu "ngu, ngu, ngu, ngu." Kemudian, Ayah menuju sumber suara itu, suara itu ada di bagian kamar Ayah dengan Ibu. Ayah buka pintu kamar itu, oo ternyata kamu ada disini, ujar Ayahku. Kamu ngapa nangis? Tanya Ayah pada Ibuku. Kenapa kamu sebut nama mantan pacarmu dulu?, kenapa!. Jawab Ayah "maksud Ayah, kita berikan nama itu untuk anak kita ini" sambil mengelus jari jemari Adekku yang masih berwarna merah.Â
Dengan lantang dan tegas, Ibuku berkata "aku tak setuju!", ujar Ayah "kamu gak suka ya?", dengan singkat, Ibuku menjawab "enggak!." Lanjut ucap Ibu "kamu dah gila ya?, kamu gak sadar?, itu nama mantan pacar kamu." oke, jawab Ayahku. Ayahku bertanya pada Ibuku "kamu ada sebuah nama untuk anak kita ini?", ada, jawab Ibu dengan lantang. Siapa namanya?, tanya Ayah. Karna anak kita yang bungsu ini cewek, aku berikan sebuah nama 'Mariam Riana Rembulan'. Sontak, Adek Bayi langsung terseyum selebar rahangnya. Ayah langsung berlisan "wow, amazing, perfect." Apasih?, sok sok an berbahasa Inggris kamu, ucap Ibuku. Tanya Ibu "baguskan?", sangat-sangat bagus, luv untuk istriku, jawab Ayah sambil tersenyum. Ibu bertanya pada Ayah "bagaimana, kamu setuju?" setuju, ujar Ayahku yang sambil mencubit hidung Ibuku. Ingat ya!, ucap Ibu pada Ayah. Ayah bertanya "ingat apa?", Ibuku menjawab "jangan kau sebut-sebut nama mantan pacarmu itu lagi padaku, atau pada anak kita. Mantan apaan, jelek lagi, cantikkan aku, ujar Ibuku. Sambil senyum, Ayahku menjawab "oke cintaku, bidadariku, asiap". Secara bersamaan, Ayahku dan Ibuku, mengelus pipi Adekku yang imut-imut gimana gitu. Hehe. Si Adekku itu pun tersenyum, dan juga kegirangan. Aku cuma mau bilang, horee.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H