Mohon tunggu...
FRANSISKUS HERU
FRANSISKUS HERU Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis asal Kec. Sompak, Kab. Landak, Kalimantan Barat.

Membaca dan menulis berlaku seumur hidup. TERUSLAH SEMANGAT BELAJAR ! *Kelahiran Mangaro, 20 Oktober 1997 *Alumnus IKIP Budi Utomo Malang *Guru SDN 09 Galar *Content Writer di www.sdngalar09.sch.id *Blogger di Kompasiana *Artikel ilmiah terpublikasikan ejurnal.budiutomomalang.ac.id *Cerpen pernah diterbitkan Alinea *Email 1: fransiskusherumahatalino17@gmail.com *Email 2: fransiskusheru17.writer@gmail.com *WhatsApp: 082177482203

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semua Bohong

7 April 2024   22:26 Diperbarui: 9 April 2024   22:52 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Cerita Pendek oleh Fransiskus Heru

Kita bagaikan insan yang tak berdosa. Kamu pengakal, apa lagi aku yang dijuluki sebagai sang pembohong. Terjerat oleh si pembohong yang membohongi mafia pembohong. Aku berpura-pura bingung, binging, bangang, bangung dan bongong. Namun, aku meyakini dengan kepercayaan diri yang selangit bahwa kenapa begitu spontannya orang-orang di sekitar aku hidup melabelkan aku ini sebagai sang pembohong.

Dulunya, aku ikut pelatihan dasar di perguruan tinggi yang bernama UMA (Universitas Mafia). Aku dalam jurusan 'pangalok', ya pangalok. Pangalok yang berarti 'Pembohong' (Bahasa Dayak Kendayan Ahe Kalimantan Barat), pelatihan dasar yang aku tempuh yaitu mata kuliah Dasar-Dasar Kebohongan 1, Dasar-Dasar Kebohongan 2, MatKul atau Mata Kuliah Ilmu Bohong dan Penerapannya.

Baru aku sadari di kata 'mata kuliah' atau disingkat matkul, ternyata kuliah ada matanya, hehe. Di suatu kota di ujung paling mentok pulau yang bernama pulau Kosini. Kosini merupakan suatu tempatku untuk belajar di UMA/Universitas Mafia.

Siapakah aku ini?, aku di sini bernama Memo. Memo gitu lo. Namun, aku bukanlah bagian dari personil bandnya Team Lo. Aku adalah seorang mahasiswa yang menuntut ilmu-ilmu bohong di Universitas Mafia. Setiap pertemuan di dalam dan di luar kelas, salah satu dosenku yang bernama Bapak Kelirang.

Bapak Kelirang atau Anak-anak biasa panggil Pak Irang. Pak Irang selalu mentransferkan lisannya dengan kalimat 'semua bohong.' Otakku teraliri darah dengan gagasan yang muncul "kenapa Bapak Kelirang mengucap kalimat semua bohong?", padahal tidak ada nama matkul ataupun materi pada Jurusan Pangalok di UMA. 

Aku pulang dari kampus, dan pergi menuju kos. Sesampainya tiba di kosku, aku, si Memo bertanya lagi dalam pikiran ini yang diwakilkan oleh hati merahtuaku, "kenapa Pak Irang suka banget sih bilang semua bohong?", tiap mau boker "kenapa semua bohong?", saking bertanya penuh kekritisan, sampek lupa kalau aku belum siram kotoranku sebanyak duapuluhenam kali. Yah, biasanya yang aku ceritakan ke Teman-teman akrabku kan, ya setiap habis boker, aku tak lupa siram taekku yang tigapuluh persen tenggelam di kloset toilet, dan tujuhpuluh persen mengambang kayak kapal titanic sebelum bocor dan tenggelam.

Habis makan, duduk bersama gadget, dan bakar sebatang sigaret. Lagi-lagi, akibat masih bertanya kepada entah siapa, akunya salah membakar. Yang aku bakar justru filter rokoknya. 

Ehh kawan bersyukurlah Anda, sebab tidak salah menggunakan itu korek untuk membakar jenggot Anda. Hehehe, di hari yang sama sebelum tidur, Rio yang satu kamar bersama diriku (Memo) pun mulai merasakan ketidakberesan dalam diri aku.

Si Rio melihat dengan lubang hidungnya yang melebar terbuka. Tanyaku kepada cicak di dinding kamar kami berdua "hei cicak, kenapa kamu menatapku?", cicak menjawab "huarr." "Waduh, ini cicak, atau dinosaurus ya?" ucapku dalam otak dan hati.

Risih menengok aku berbincang dengan cicak, Rio kabur dari taman kasurnya yang super empuk. Anggap Rio "haa, kayaknya Memo mulai crazy, bisa-bisa berubah jadi psikopat ni anak, kabur ahh."

Tipu-tipu, kukira si Rio kabur karna takut dengan keanehannya dari diriku ini, rupanya dia kabur kebelet mau liat Bidadari-bidadari alias Cewek-cewek cantik di depan tempat jemur pakaian, bidadari apa kuntilanak sih?. Setelah itu kami berduapun tidur.

Kesekian kalinya diriku mengucap 'semua bohong.' Bukan seperti dalam keadaan biasanya, aku mengucapkan 'semua bohong' dalam keadaan tertidur, ya benar sekali praduga kalian, aku mengucapkannya dalam keadaan nigau disertai bibir yang mengeluarkan lahar berwarna putih alias liur, dan mulut yang penuh sarang laba-laba.

Sontak Rio tersadar, lalu melihat ke arah kasurku, ucap Rio "kok, Memo berubah jadi bantal guling?." Rio pun mulai konslet, ya jelaslah aku kayak bantal guling, lah itukan emang bantal guling yang aku peluk. "Rio, Rio" ucapku. Rio si pecandu minuman kopi tanpa gula, ginilah efek sampingnya.

Bukan lagi bulan, melainkan matahari, pun sudah mulai terbit. Pagi yang cerah, diriku yang ada jadwal masuk kuliah di kampus. Aku terlambat bangun tidur, buru-buru mau mandi pagi. Ehh, nasib kurang beruntung justru berpihak pada diriku di pagi itu.

Pertama, kepeleset menginjak bangkai tikus got. Kedua, aku diceramahin oleh Ibu Kos. Si Ibu Kosku lagi bersemangat untuk berlisan pada diriku di kala itu. Ibu Kosku bercerita inilah, bercanda itulah, dan berujung aku tak jadi ngampus. "Hadeh", ucapku di dalam hati. Apakah dia sedang berbohong?, apakah mereka sedang berbohong?, ternyata pun Ibu Kos pernah berbohong kepada kami di saat bercerita, waduh. Apalagi semua kalimat yang dituliskan di sini, bohong juga.

Canda kok. Kita bagaikan manusia yang tak berdosa, dan aku rela mati hanya demi kamu yang sangat aku cintai. Semua, Bohong.    

Tak jadi belajar di kampus. Masih pada hari yang sama, sore harinya naik becak Kakek langgananku. Bukan Kakek Cangkul seperti dalam film yang tidak bisa jauh dengan cangkul kunonya, Kakek si Tukang Becak ini identik dengan topi koboinya. Aku memanggil Kakek itu, kemudian naik becaknya. Mengkayuh pedal roda sepeda becaknya penuh dengan keringat, dan penuh bunyi nafas yang terhembus lemah.

"Dasar si Memo, tak kasihan kah dia sama Kakek itu?, kalok gue sih mending jalan kaki aja", lisan yang terdengar telingaku dari satu teman kuliahku yang berada di tepi jalan saat itu. "Kan ada juga olahraganya sambil nengok perempuan-perempuan cantik di jalanan, hehe", sambung-lisan temanku itu.

Dalam perjalanan naik becak itu, aku berlisan kepada Kakek si Tukang Becak "Kek, kalok seandainya suatu saat aku menjadi gubernur di daerah ini, aku berjanji tidak akan korupsi uang negara satu rupiah pun", ucap Kakek "Semua, Bohong", kemudian akupun terbingung lalu bertanya "maksudnya Kek?", maksud Kakek, "amin Cu." Ujarnya lagi si kakek "Cu, sebaiknya dari sekarang, kamu berbicara jujur, bersikap jujur, serta bertindak jujur kepada sesama makhluk hidup." Ee, "oke Kek" ujarku sembari menggaruk hidung.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun