Tipu-tipu, kukira si Rio kabur karna takut dengan keanehannya dari diriku ini, rupanya dia kabur kebelet mau liat Bidadari-bidadari alias Cewek-cewek cantik di depan tempat jemur pakaian, bidadari apa kuntilanak sih?. Setelah itu kami berduapun tidur.
Kesekian kalinya diriku mengucap 'semua bohong.' Bukan seperti dalam keadaan biasanya, aku mengucapkan 'semua bohong' dalam keadaan tertidur, ya benar sekali praduga kalian, aku mengucapkannya dalam keadaan nigau disertai bibir yang mengeluarkan lahar berwarna putih alias liur, dan mulut yang penuh sarang laba-laba.
Sontak Rio tersadar, lalu melihat ke arah kasurku, ucap Rio "kok, Memo berubah jadi bantal guling?." Rio pun mulai konslet, ya jelaslah aku kayak bantal guling, lah itukan emang bantal guling yang aku peluk. "Rio, Rio" ucapku. Rio si pecandu minuman kopi tanpa gula, ginilah efek sampingnya.
Bukan lagi bulan, melainkan matahari, pun sudah mulai terbit. Pagi yang cerah, diriku yang ada jadwal masuk kuliah di kampus. Aku terlambat bangun tidur, buru-buru mau mandi pagi. Ehh, nasib kurang beruntung justru berpihak pada diriku di pagi itu.
Pertama, kepeleset menginjak bangkai tikus got. Kedua, aku diceramahin oleh Ibu Kos. Si Ibu Kosku lagi bersemangat untuk berlisan pada diriku di kala itu. Ibu Kosku bercerita inilah, bercanda itulah, dan berujung aku tak jadi ngampus. "Hadeh", ucapku di dalam hati. Apakah dia sedang berbohong?, apakah mereka sedang berbohong?, ternyata pun Ibu Kos pernah berbohong kepada kami di saat bercerita, waduh. Apalagi semua kalimat yang dituliskan di sini, bohong juga.
Canda kok. Kita bagaikan manusia yang tak berdosa, dan aku rela mati hanya demi kamu yang sangat aku cintai. Semua, Bohong. Â Â
Tak jadi belajar di kampus. Masih pada hari yang sama, sore harinya naik becak Kakek langgananku. Bukan Kakek Cangkul seperti dalam film yang tidak bisa jauh dengan cangkul kunonya, Kakek si Tukang Becak ini identik dengan topi koboinya. Aku memanggil Kakek itu, kemudian naik becaknya. Mengkayuh pedal roda sepeda becaknya penuh dengan keringat, dan penuh bunyi nafas yang terhembus lemah.
"Dasar si Memo, tak kasihan kah dia sama Kakek itu?, kalok gue sih mending jalan kaki aja", lisan yang terdengar telingaku dari satu teman kuliahku yang berada di tepi jalan saat itu. "Kan ada juga olahraganya sambil nengok perempuan-perempuan cantik di jalanan, hehe", sambung-lisan temanku itu.
Dalam perjalanan naik becak itu, aku berlisan kepada Kakek si Tukang Becak "Kek, kalok seandainya suatu saat aku menjadi gubernur di daerah ini, aku berjanji tidak akan korupsi uang negara satu rupiah pun", ucap Kakek "Semua, Bohong", kemudian akupun terbingung lalu bertanya "maksudnya Kek?", maksud Kakek, "amin Cu." Ujarnya lagi si kakek "Cu, sebaiknya dari sekarang, kamu berbicara jujur, bersikap jujur, serta bertindak jujur kepada sesama makhluk hidup." Ee, "oke Kek" ujarku sembari menggaruk hidung.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H