Cerita Pendek oleh Fransiskus Heru
Kita bagaikan insan yang tak berdosa. Kamu pengakal, apa lagi aku yang dijuluki sebagai sang pembohong. Terjerat oleh si pembohong yang membohongi mafia pembohong. Aku berpura-pura bingung, binging, bangang, bangung dan bongong. Namun, aku meyakini dengan kepercayaan diri yang selangit bahwa kenapa begitu spontannya orang-orang di sekitar aku hidup melabelkan aku ini sebagai sang pembohong.
Dulunya, aku ikut pelatihan dasar di perguruan tinggi yang bernama UMA (Universitas Mafia). Aku dalam jurusan 'pangalok', ya pangalok. Pangalok yang berarti 'Pembohong' (Bahasa Dayak Kendayan Ahe Kalimantan Barat), pelatihan dasar yang aku tempuh yaitu mata kuliah Dasar-Dasar Kebohongan 1, Dasar-Dasar Kebohongan 2, MatKul atau Mata Kuliah Ilmu Bohong dan Penerapannya.
Baru aku sadari di kata 'mata kuliah' atau disingkat matkul, ternyata kuliah ada matanya, hehe. Di suatu kota di ujung paling mentok pulau yang bernama pulau Kosini. Kosini merupakan suatu tempatku untuk belajar di UMA/Universitas Mafia.
Siapakah aku ini?, aku di sini bernama Memo. Memo gitu lo. Namun, aku bukanlah bagian dari personil bandnya Team Lo. Aku adalah seorang mahasiswa yang menuntut ilmu-ilmu bohong di Universitas Mafia. Setiap pertemuan di dalam dan di luar kelas, salah satu dosenku yang bernama Bapak Kelirang.
Bapak Kelirang atau Anak-anak biasa panggil Pak Irang. Pak Irang selalu mentransferkan lisannya dengan kalimat 'semua bohong.' Otakku teraliri darah dengan gagasan yang muncul "kenapa Bapak Kelirang mengucap kalimat semua bohong?", padahal tidak ada nama matkul ataupun materi pada Jurusan Pangalok di UMA.Â
Aku pulang dari kampus, dan pergi menuju kos. Sesampainya tiba di kosku, aku, si Memo bertanya lagi dalam pikiran ini yang diwakilkan oleh hati merahtuaku, "kenapa Pak Irang suka banget sih bilang semua bohong?", tiap mau boker "kenapa semua bohong?", saking bertanya penuh kekritisan, sampek lupa kalau aku belum siram kotoranku sebanyak duapuluhenam kali. Yah, biasanya yang aku ceritakan ke Teman-teman akrabku kan, ya setiap habis boker, aku tak lupa siram taekku yang tigapuluh persen tenggelam di kloset toilet, dan tujuhpuluh persen mengambang kayak kapal titanic sebelum bocor dan tenggelam.
Habis makan, duduk bersama gadget, dan bakar sebatang sigaret. Lagi-lagi, akibat masih bertanya kepada entah siapa, akunya salah membakar. Yang aku bakar justru filter rokoknya.Â
Ehh kawan bersyukurlah Anda, sebab tidak salah menggunakan itu korek untuk membakar jenggot Anda. Hehehe, di hari yang sama sebelum tidur, Rio yang satu kamar bersama diriku (Memo) pun mulai merasakan ketidakberesan dalam diri aku.
Si Rio melihat dengan lubang hidungnya yang melebar terbuka. Tanyaku kepada cicak di dinding kamar kami berdua "hei cicak, kenapa kamu menatapku?", cicak menjawab "huarr." "Waduh, ini cicak, atau dinosaurus ya?" ucapku dalam otak dan hati.
Risih menengok aku berbincang dengan cicak, Rio kabur dari taman kasurnya yang super empuk. Anggap Rio "haa, kayaknya Memo mulai crazy, bisa-bisa berubah jadi psikopat ni anak, kabur ahh."