Pandemi COVID-19 mempengaruhi setiap segmen kehidupan secara berbeda-beda. Di klaster mahasiswa, akibat pandemi yang sedang berlangsung, mahasiswa dan pelajar dari seluruh dunia terpaksa melakukan studi dari rumah. Dengan pandemic yang tak kunjung berakhir, banyak siswa bertanya-tanya kapan saatnya tiba di mana mereka dapat kembali ke sekolah dan menikmati hal-hal  yang lumrah dialami pelajar selama masa lockdown.Â
Gema akan keprihatinan ini terutama terasa di lingkungan saya yang mayoritas adalah kalangan mahasiswa. Sebagai seorang mahasiswa, saya sangat merindukan sensasi menghadiri kelas offline. Karena situasi saat ini, saya merasa dirampok banyak hal yang membuat sekolah menjadi menyenangkan. Atau paling tidak se-berat itu untuk dijalani.
Sekolah online menghadirkan banyak masalah berbeda yang biasanya tidak dihadapi siswa saat menjalani sekolah dalam bentuk offline yang tradisional. Salah satu masalah yang menonjol adalah kebosanan. Kurangnya interaksi sosial benar-benar membuat sekolah dua kali lebih membosankan dan berat dari biasanya.Â
Perasaan ini bertepatan dengan rasa bahwa setiap hari terasa seperti mengulang hari yang sama. Siswa yang belajar di masa pandemi terpaksa mencari cara baru untuk menghibur diri sepanjang hari sebagai cara untuk menghilangkan kebosanan seperti bermain online games dan menonton film yang disebabkan oleh sifat monoton sekolah online.Â
Namun, beberapa upaya tersebut masih belum cukup. Setelah merenungkan situasi yang dihadapi siswa saat ini, hal-hal kecil seperti menunggu kelas di pekarangan sekolah atau kampus, pergi ke kantin, dan hanya nongkrong di sekolah dengan teman dan dosen terasa sangat berharga, dan dapat memberikan penghiburan atau kenyamanan di tengah kesibukan yang umum ditemukan dalam hari-hari sekolah.Â
Aktivitas-aktivitas yang dulu dianggap lumrah seperti yang telah saya sebutkan tadi, saat ini tampak seperti bentuk kemewahan yang tidak dapat dicapai karena pandemi.
Dari pengamatan pribadi saya, kurangnya interaksi sosial antar mahasiswa yang disebabkan oleh pandemi yang sedang berlangsung benar-benar mempengaruhi generasi muda lebih dari generasi lainnya.Â
Secara tradisional, interaksi sosial biasanya merupakan salah satu wahana belajar terpenting bagi seorang remaja, dan interaksi ini biasanya diperoleh di sekolah. Layaknya banyak pemuda menghabiskan mayoritas waktu mereka di lembaga pembelajaran seperti sekolah dan kampus. Terhalang oleh pandemi, yang memaksa kita untuk menjaga interaksi sosial seminimal mungkin sebagai cara untuk menghentikan penyebaran virus, banyak remaja kehilangan sarana belajar dan hiburan utama.Â
Dari sisi mahasiswa, hal lain yang hilang selama masa pandemi selain jumlah interaksi sosial yang sehat, juga berarti melampiaskan kepenatan yang kita rasakan dan akumulasikan selama seminggu.Â
Melalui saluran seperti festival musik, menghadiri pemutaran film, atau sekadar secara fisik berkumpul dengan mereka yang memiliki minat yang sama dengan kita. Sarana hiburan ini sangat membantu kami dalam menjaga produktivitas akademik kami
Berkaitan dengan topik produktivitas, kami, pelajar yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai 'angkatan COVID', terpaksa menghadapi situasi yang jauh dari ideal di mana kami harus mempertahankan tingkat produktivitas yang tinggi sementara tidak dapat memperoleh fasilitas hiburan yang sama sebelum terjadinya pandemic ini. Ini benar-benar mendorong kerinduan kami untuk kembali ke ruang kelas fisik.Â
Oleh karena itu, hal tersebut memunculkan fenomena baru yang mungkin belum banyak diperhatikan oleh kalangan anak muda. Fenomena ini muncul dalam bentuk kecenderungan generasi muda untuk mengenang dan membicarakan pengalaman masa lalu.Â
Mungkin hal ini disebabkan oleh banyaknya pembatasan akibat pandemi yang membuat remaja tidak mampu menciptakan pengalaman baru yang berharga untuk dibicarakan. Lelah adalah satu kata yang dapat menggambarkan dan menyederhanakan apa yang sedang dialami oleh generasi saya saat ini. Pengalaman normal baru ini bukanlah jenis normal yang kita harapkan untuk bertahan di tahun-tahun berikutnya sebagai pemuda.
Nah, sekarang kita telah sampai pada poin terakhir dari artikel ini. Telah menjadi perhatian generasi saya bahwa pengalaman sekolah offline tradisional tidak bisa digantikan oleh sekolah daring, dan tidak dapat direplikasi dengan bentuk atau media apa pun. Meski pandemi ini sudah berlangsung lebih dari dua tahun, masih sulit menemukan rasa normal di saat-saat seperti ini. Banyak rekan-rekan saya, termasuk saya sering memikirkan apa yang bisa seharusnya terjadi jika tidak ada pandemi.Â
Bagi sebagian dari kita, mungkin tampak bahwa generasi ini dirampok dari masa mudanya, dikarenakan kami tidak dapat mengalami semua hal yang seharusnya dinikmati oleh pemuda pada umumnya. Sampai titik tertentu, hal ini mungkin tampak benar.Â
Namun, saya pribadi percaya bahwa pandemi ini dapat mengajari kita untuk bertahan selama masa-masa sulit, dan tidak mudah menyerah. Kita harus tetap berharap dan membuka jalan baru yang dapat mengakomodasi hal-hal yang tidak kita alami selama pandemic ini. Apa jenis jalan tepatnya? Mungkin jawaban dari pertanyaan ini hanya bisa dihasilkan jika kita mampu melewati pandemi ini dengan keadaan utuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H