Mohon tunggu...
Fransiska S. Manginsela
Fransiska S. Manginsela Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Supel

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

[FFA] Semangkuk Kolak Pisang

20 Oktober 2013   23:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:15 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Fransiska S. Manginsela

Nomer Peserta: 149

Rae tak segera menyantap semangkuk kolak pisang yang ada di hadapannya. Dia memilih diam. Memandangi serta memain-mainkan sendok yang ada di genggamannya.

“Kenapa tak segera kau makan, Rae? Bukankah itu makanan kesukaanmu?”

“Iya, Mak,” jawab Rae datar dan sangat singkat.

“Atau kau sudah bosan hingga tak tertarik menghabiskan kolak pisang itu? Ah, Rae maafkan Emak karena hanya bisa memberimu semangkuk kolak pisang tiap harinya.”

“Bu...bukan, Mak. Rae bukan bosan.”

“Lalu apa? Kenapa tak segera dimakan? Sayang kan jika hanya kau pandangi saja.”

“Mak...”

“Ada apa, Rae?”

“Sebenarnya Rae ingat Bapak, Mak. Setiap kali makan kolak pisang wajah Bapak tiba-tiba hadir,” ungkap Rae dengan kepala tertunduk.

Bocah lelaki yang kini duduk di bangku kelas lima SD (Sekolah Dasar) itu tampaknya menyimpan duka yang begitu dalam. Emak Rae yang awalnya sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk dibuat kolak yang akan dijual esok pagi, akhirnya beranjak dan mendekati Rae.

“Kita doakan Bapak sama-sama, yuk?”

“Iya, Mak. Mak, andai saja dulu Bapak tak menjadi korban tabrak lari waktu menjual kolak, pasti saat ini Rae bisa duduk satu meja sama Bapak, menikmati semangkuk kolak pisang. Kenapa Bapak pergi begitu cepat, Mak? Kenapa?”

“Rae, kau masih ingat pesan yang sering Bapakmu sampaikan padamu, setiap kali kalian duduk bersama di malam hari, sembari menikmati kolak pisang sisa penjualan pagi hari?”

“Masih, Mak.”

“Apa yang Bapakmu katakan?”

“Bapak bilang bahwa dalam hidup kita tak boleh banyak mengeluh. Terlebih pada keadaan yang menimpa kita.”

“Dan kau pasti sudah mengerti kan, anakku?”

“Rae tak paham, Mak. Rae tak mengerti. Apakah salah jika Rae bertanya seperti itu? Kenapa harus Bapak Rae yang jadi korban tabrak lari? Kenapa?”

“Rae, kelak kau akan mengerti dan paham, Nak. Mungkin tidak saat ini. Sekarang sudah malam. Ada baiknya kau segera tidur. Besok harus sekolah, kan? Bagaimana kolak pisangnya? Apa tak jadi kau makan?”

“Untuk Emak saja. Rae pamit tidur. Selamat malam, Mak.”

“Selamat malam, Rae.”

***

Hari ini hari Jum’at. Siswa-siswi Sekolah Dasar (SD) pulang lebih awal dari pada hari-hari biasanya. Suasana sekolah pun begitu ramai. Beberapa siswa ada yang dijemput pulang oleh orangtuanya dan ada yang dijemput oleh sopirnya. Namun tidak dengan Rae. Dia tak dijemput oleh siapa-siapa. Harus pulang sendiri. Karena emak Rae sibuk menjajakan kolak pisang yang dijualnya.

Di tengah asyik berjalan, tiba-tiba langkah Rae terhenti.

Stop! Apa yang kalian lakukan?” tanya Rae pada anak lelaki dan perempuan yang tengah memperebutkan sesuatu. Namun dua orang itu tak memedulikan. Ucapan Rae tak dihiraukan.

“Hei, berhenti kataku!” seru Rae lebih keras dari sebelumnya.

“Apa yang kalian perebutkan?”

“Lelaki yang berpostur lebih besar dari bocah perempuan di sebelahnya itu memperlihatkan sebungkus makanan pada Rae.”

“Kolak pisang?” tanya Rae keheranan.

Dua pemulung yang usianya sekitar sembilan tahun dan sebelas tahun itu mengangguk bersamaan.

“Kenapa kalian berebut?”

“Aku ingin makan kolak pisang.” Jawab bocah perempuan itu polos.

“Kami sudah lama tak pernah memakan makanan ini,” tambah bocah lelaki itu pada Rae.

“Kalian tak meminta pada orangtua kalian?”

Keduanya menggelengkan kepala.

“Kami tak punya orangtua.”

Rae tercengang mendengar jawaban pemulung itu. Tiba-tiba dia ingat akan kata-kata Emak dan Bapaknya. Saat itu juga Rae bersyukur. Bahwa meski tak punya Bapak, Rae masih punya Emak. Dan Rae juga masih bisa menikmati semangkuk kolak pisang setiap harinya. Tanpa perlu berebut seperti yang dilakukan dua pemulung di hadapannya itu. Dan saat itu juga Rae mengajak dua pemulung yang ditemuinya datang ke rumahnya. Ya, tentu saja untuk menikmati semangkuk kolak pisang buatan Emaknya.

-TAMAT-

Surabaya, 20 Oktober 2013

Fransiska S. Manginsela

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Event Festival Fiksi Anak

Jangan lupa cantumkan juga kata-kata berikut ini : Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun