Mohon tunggu...
Fransiscus Widiyatmoko
Fransiscus Widiyatmoko Mohon Tunggu... karyawan swasta -

... berjuang untuk MEMANUSIAKAN KEMBALI KEMANUSIAAN MANUSIA INDONESIA ... yang telah luluh lantak akibat terpeliharanya watak TAMAK dan EGOIS yang ditabur sejak tahun 1966 ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

01 Oktober... 46 Tahun Lalu

1 Oktober 2011   21:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:26 4818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jelang pagi … Jakarta masih terlelap. Kabut pagi masih menutupi pandangan mata. Tujuh regu pasukan bersenjata lengkap menyebar ke tujuh titik di kota Jakarta utk melakukan penjemputan tujuh orang Jendral yang diduga terlibat dalam Dewan Jendral yang disinyalir akan melakukan kudeta militer terhadap kekuasaan Presiden Soekarno pada peringatan Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata tanggal 05 Oktober mendatang.

Masing-masing regu pasukan telah diinstruksikan utk menjemput hidup-hidup guna diinterogasi dan dihadapkan kepada Paduka Yang Mulia Panglima Besar Revolusi Presiden Soekarno guna menjelaskan atas isu Dewan Jendral. Namun pada pagi buta itu ternyata Jakarta malah dibangunkan dengan beberapa letusan senjata di beberapa titik. Jauh panggang dari api … demikian lah pelaksanaan operasi penjemputan paksa ketujuh Jendral yang dikomandani langsung oleh Kolonel Latif.

Dari ketujuh orang Jendral yang berhasil dijemput paksa, terdapat 3 orang Jendral dijemput dalam kondisi telah anumerta, yaitu: Jendral Ahmad Yani, Jendral DI Panjaitan, dan Jendral MT. Haryono. Empat Jendral lainnya yang berhasil dijemput dalam kondisi hidup adalah: Jendral S. Parman, Jendral S. Siswomihardjo, Jendral Suprapto, dan Jendral AH. Nasution (yang kemudian diketahui seseorang yang dikira sebagai Jendral AH. Nasution ternyata adalah ajudan sang Jendral yang diketahui bernama Letnan Satu Pierre Tendean).

Babak berikutnya dari drama penculikan ketujuh orang Jendral di lokasi yang bernama desa Lubang Buaya hingga kini masih menjadi misteri. Versi yang sempat dipaksa-terima oleh siswa-siswi sekolah dasar dan menengah sepanjang tahun 1969 hingga 1998 adalah terjadi peristiwa penyiksaan dan pembantaian brutal terhadap keenam orang Jendral dan seorang Perwira Menengah Angkatan Darat yang diakhiri dengan penanaman ketujuh jasad Perwira Angkatan Darat tersebut di sebuah sumur tua.

Babak berikutnya adalah siaran udara Letnan Kolonel Untung di stasiun Radio Republik Indonesia yang menjelaskan kepada khalayak ramai atas pelaksanaan operasi penjemputan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang dikatakan bergabung dalam sebuah Dewan bernama Dewan Revolusi. Dikatakan bahwa operasi militer yang dilakukan oleh Dewan Revolusi adalah untuk menyelamatkan Revolusi Indonesia yang terancam oleh petualangan politik Dewan Jendral.

Masyarakat Jakarta dan Yogyakarta (karena di DIY juga terjadi peristiwa pembunuhan terhadap Jendral Katamso, Kolonel Sugiyono, dan Ajun Inspektur Polisi Karel Satsuit Tubun) mengetahui adanya aksi penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa petinggi Angkatan Darat. Namun hingga pagi hari masyarakat sama sekali tidak mengetahui siapa yang berada dibalik operasi tersebut.Saat itu, banyak orang menduga bahwa operasi tersebut adalah letupan ketidakpuasan prajurit Angkatan Bersenjata terhadap Jendralnya karena sudah menjadi pengetahuan umum saat itu para Jendral hidup bermewah-mewah sementara para prajurit hidup dalam kondisi ekonomi yang serba pas (walau faktanya berkekurangan karena hanya mengandalkan jatah sembako dari pemerintah utk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari –yang itupun masih dikorupsi dan dimanipulasi oleh atasannya).

Pagijelang siang … Jendral Soeharto membalas siaran udara Kolonel Untung (setelah berhasil merebut stasiun Radio Republik Indonesia –yang pada masa itu ada di gedung Penas, Cawang – Jakarta Timur) dengan menyebutkan bahwa telah terjadi penculikan terhadap Jendral-Jendral Angkatan Darat yang dilakukan oleh (istilah Soeharto) gerombolan bersenjata yang berpusat di Lubang Buaya. Gerombolan bersenjata yang menamakan diri Dewan Revolusi dikatakan oleh Soeharto sebagai sebuah tindakan peutsch (percobaan kudeta) terhadap kewibawaan pemerintahan Presiden Soekarno. Lebih jauh Soeharto berani menyimpulkan bahwa gerakan gerombolan bersenjata ini didalangi oleh PKI yang kemudian disebutnya sebagai Gerakan 30 September.

-----------------------------------

Babakan drama diatas adalah entry point dari sebuah mega proyek pengambil-alihan kekuasaan dari PJM PBR Soekarno oleh Jendral Soeharto. Proses kudeta yang berlangsung sejak tahun 1965 – 1967 dapat direkonstruksikan sebagai berikut:

·Informasi-informasi yang mengalir deras dari berbagai pihak terkait rencana penjemputan paksa beberapa orang Jendral pada tanggal 01 Oktober 1965 pagi yang diterima oleh Soeharto, tidak ada satu pun yang diteruskan ke pimpinannya pada saat itu Jendral Ahmad Yani.

·Janji memberikan dukungan kekuatan bersenjata pada Kolonel Latief yang pada tanggal 29 September 1965 menceritakan kepada Soeharto kepastian pelaksanaan operasi Dewan Revolusi untuk menggagalkan rencana kudeta Dewan Jendral.

·Antara bulan Juli 1965 sampai dengan bulan Agustus 1965, Soeharto mengirimkan radiogram kepada Divisi Siliwangi dan Divisi Banteng Raiders utk berangkat ke Jakarta dengan membawa perbekalan tempur lengkap. Hal ini sungguh aneh jika perintah itu didasarkan pada rencana defile pasukan elit Angkatan Darat dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata yang rencananya akan diselenggarakan pada tanggal 05 Oktober 1965. Perbekalan tempur lengkap hanya mungkin diperintahkan dalam kondisi akan berangkat perang. Ini mengindikasikan Soeharto tahu betul akan terjadi sesuatu peristiwa sebelum peringatan Hari Lahir Angkatan Bersenjata yang memiliki potensi terjadinya pertikaian bersenjata.

·01 Oktober 1965 … pukul 05:00 atau pukul 06:00 WIB, Soeharto menerima kedatangan Jendral Umar Wirahadikusumah yang menceritakan pada dini hari telah terjadi penculikan terhadap petinggi Angkatan Darat. Informasi ini seharusnya segera beliau laporkan kepada PJM PBR Soekarno yang secara legitimatif otoritatif memegang kendali penuh atas Angkatan Darat ketika jajaran dibawahnya berada dalam kondisi bahaya/absen dan tidak dapat menjalankan fungsinya (Jendral Ahmad Yani pada saat itu menjadi salah satu anggota Kabinet dengan jabatan MenPangAD).

·Segera setelah Letnan Kolonel Untung atas nama Dewan Revolusi menyatakan mengambil alih komando atas pasukan Angkatan Darat, yang sejatinya adalah sebuah bentuk kudeta kepemimpinan di tubuh Angkatan Darat, Jendral Soeharto tidak melakukan koordinasi dengan PJM PBR Soekarno (yang secara letimatif otoritatif menjadi atasannya langsung dalam situasi MenPangAD sedang berada dalam kondisi bahaya dan tidak dapat menjalankan fungsinya), tetapi malah melakukan pengumpulan kekuatan pasukan dan penyiapan perlawanan tanpa melakukan koordinasi dengan pejabat yang berada diatasnya c.q PJM PBR Soekarno.

·Panggilan rapat koordinasi pada tanggal 01 Oktober 1965 sore hari yang diterima oleh Soeharto dari Soekarno tidak diindahkan dengan alasan tidak enak badan (sebuah alasan yang dicari-cari karena sehari itu banyak orang yang memberi kesaksian Soeharto dalam kondisi sehat wal’afiat bahkan sempat memberikan counter press release setelah berhasil merebut Stasiun RRI dari tangan Dewan Revolusi.

·Pada tanggal 01 Oktober 1965 malam hari, Soeharto mendapatkan laporan bahwa lokasi penanaman jenasah keenam perwira tinggi dan seorang perwira menengah di desa Lubang Buaya telah diketahui, dan ketika pihak yang melaporkan penemuan lokasi penanaman jenasah para korban dilakukan pada tanggal 02 Oktober 1965, ditolak oleh Soeharto dan memerintahkan pengangkatan Jenasah dilakukan pada tanggal 04 Oktober 1965 (yaitu 1 hari sebelum peringatan Hari Lahir Angkatan Bersenjata).

·Tanggal 02 Oktober 1965, Soeharto menerbitkan perintah kepada seluruh media untuk menutup kantornya dengan alasan Negara dalam kondisi bahaya (S.O.B), namun tidak kepada media yang berada di bawah control Angkatan Darat, salah satunya adalah harian Berita Yudha. Praktis Harian Berita Yudha menjadi corong suara agitasi Angkatan Darat paling efektif karena tidak ada pemberitaan berimbang dari media lainnya.

·Tanggal 04 Oktober 1965, Soeharto memimpin langsung proses pengangkatan jenasah ketujuh orang korban penculikan tanggal 01 Oktober 1965. Karena telah terpendam selama 3 hari, proses pembusukan atas jenasah telah terjadi. Sehingga ketujuh jenasah yang diangkat dari dalam sumur terlihat rusak. Rusaknya jenasah ketujuh orang korban oleh Soeharto dan sarana agitasinya dieksploitasi habis-habisan dan digambarkan sebagai bentuk kekejaman dan kebiadaban yang dilakukan oleh jajaran Dewan Revolusi kepada ketujuh orang korban. Padahal hasil otopsi yang dilakukan oleh dokter-dokter dari Universitas Indonesia di RSCM menyatakan ketujuh orang korban tidak mengalami penyiksaan fisik sebagaimana yang santer diceritakan dalam media agitasi Angkatan Darat. Hasil otopsi menyatakan ketujuh orang korban tewas karena timah panas. Tidak ada tanda-tanda penganiayaan pada tubuh ketujuh orang korban, tidak ada sayatan terhadap kulit para korban, tidak ada pencungkilan bola mata milik Letnan Satu Pierre Tendean, dan dijelaskan lebih lanjut dalam laporan otopsi bahwa kerusakan pada jenasah ketujuh orang korban terjadi karena proses pembusukan alami setelah dipendam dalam tanah selama 3 hari.

·Namun hasil otopsi tersebut hanya disimpan dalam laci meja kerja Soeharto, dan membiarkan masyarakat memamah info palsu tentang “penyiksaan dan penganiayaan” yang diterima oleh ketujuh korban. Walau PJM PBR Soekarno berkali-kali menyatakan didepan wartawan Harian Berita Yudha dan kantor berita lain (yang telah menyetujui isi berita disortir terlebih dahulu oleh Angkatan Darat sebelum dipublikasikan) bahwa tidak ada tanda-tanda penyiksaan di tubuh ketujuh orang korban sesuai dengan hasil visum et repertum yang diterbitkan oleh team dokter dari UI yang melakukan proses otopsi, pernyataan PJM PBR Soekarno tidak diberitakan (atau memang sengaja ditahan agar tidak keluar dari meja redaksi sehingga tidak dapat diberitakan) kepada masyarakat.

·Paska pemakaman ketujuh orang korban dan Ade Irma Suryani Nasution (putri bungsu Jendral AH. Nasution yang ikut tertembak pada saat terjadinya proses penjemputan di kediaman Jendral AH. Nasution), Jendral Soeharto secara tegas membangun jarak antara dirinya dengan PJM PBR Soekarno yang notabene masih menjadi atasannya secara structural dalam garis komando Angkatan Bersenjata, dengan mengabaikan dan membangkang setiap instruksi yang disampaikan PJM PBR Soekarno kepada dirinya melalui kurir dan orang-orang kepercayaan Soekarno. Bahkan secara terbuka kepada beberapa perwira yang menghadap kepadanya Soeharto memberikan pilihan yang bersifat ancaman: berada dalam barisan yang dipimpinnya atau berhadapan sebagai lawan.

·Aksi-aksi demontrasi yang dilakukan oleh mahasiswa disokong penuh oleh Soeharto dalam bentuk penyediaan alat transportasi (truk-truk terbuka yang ada dibawah control Divlat AD), ransum berupa makan siang yang dibagikan kepada massa aksi, dan peluang untuk melakukan rapat-rapat perencanaan aksi bersama pimpinan AD yang telah menyatakan loyal kepadanya di Markas KOSTRAD, maupun di kediaman-kediaman perwira AD yang mendukungnya.

·Aksi-aksi terror pun dilancarkan Soeharto dengan menyebarkan pasukannya di seluruh kota Jakarta dengan pemusatan di daerah Monas dan sekitarnya dengan melepaskan atribut kesatuannya sehingga seolah-olah pusat kekuasaan RI telah dikepung oleh pasukan tak dikenal. Hal ini adalah sebuah upaya psikologis untuk memberikan tekanan kepada pemerintahan yang sah saat itu untuk menuruti kehendak Soeharto yang disampaikan melalui suara-suara para aktifis demontran dan media-media massa di bawah control AD.

·Pengiriman tiga orang Jendral utk mendesak Presiden Soekarno di Istana Bogor untuk memberikan kekuasaan eksekutif kepadanya dengan ancaman: jika menghendaki segera tercipta situasi aman dan kondusif bagi keberlangsungan pemerintahan di seluruh negeri.

·Pada saat yang bersamaan sepanjang November 1965 sampai dengan penerbitan SP 11 Maret 1966, Soeharto mengirimkan pasukannya ke berbagai pelosok tanah air dengan perintah: mengejar dan menangkap bahkan menembak mati para tokoh Dewan Revolusi serta melakukan penutupan dan pelemahan kekuatan kiri (yang diwakili oleh PKI, PNI, dan PSI) di seluruh daerah dengan menggunakan beragam cara yang paling mungkin utk dilakukan. Efeknya adalah sepanjang November 1965 hingga SP 11 Maret 1966 terbit, pemberitaan di media massa nasional maupun local penuh dengan berita pembantaian, pembunuhan, pemerkosaan dan penjarahan massal terhadap anggota2 PKI dan simpatisannya (dan fakta yang ditemukan di lapangan belasan bahkan puluhan tahun kemudian yang menjadi korban tidak saja anggota PKI dan simpatisannya saja, tetapi juga tokoh-tokoh PNI dan PSI serta orang-orang yang “diduga berpotensi membahayakan).

·Segera SP 11 Maret 1966 terbit, Soeharto melakukan pembersihan di Kabinet 100 Menteri dengan menangkapi dan memenjarakan seluruh tokoh-tokoh komunis dan sosialis. Diikuti kemudian dengan pembersihan di tubuh MPRS dan DPRGR dengan memecat, kemudian menangkapi dan memenjarakan tanpa proses peradilan kepada seluruh anggota partai-partai kiri (PKI-PNI-PSI) yang menjadi anggota MPRS dan DPRGR. Lebih hebatnya lagi adalah dengan mengganti seluruh pejabat yang diberhentikan, ditangkapi dan dipenjarakan tanpa proses peradilan itu dengan orang-orang/tokoh-tokoh yang ada dalam barisan pendukungnya. Sehingga proses ini memungkinkan Jendral AH Nasution menjabat sebagai Ketua MPRS. Jalan untuk merebut kekuasaan secara legal formal terbuka setelah terbitnya SP 11 Maret 1966.

·Pengejaran-pengejaran kepada tokoh-tokoh kunci yang dapat menjelaskan secara gamblang ada apa dibalik peristiwa penculikan ketujuh orang perwira Angkatan Darat semua diakhiri dengan eksekusi hukuman mati. Hal ini sangat tergambar dalam salah satu media terbitan Korpri tahun 1982 yang menceritakan secara rinci proses pengejaran dan penangkapan terhadap Ketua Umum PKI saat itu, Dipa Nusantara Aidit.

·22 Juni 1966 … Soekarno dipaksa utk memberikan pertanggungjawaban kepada MPRS atas situasi ketidakamanan yang terjadi di seluruh negeri. Penculikan dan pembunuhan terjadi dimana-mana (yang paling banyak menjatuhkan korban adalah di Medan, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Bali dengan tingkat penyiksaan di luar batas perikemanusiaan yang paling intens dan dengan jumlah korban yang sangat massif). Atas situasi ini, Soekarno memberikan pidato pertanggungjawabannya yang diberinya judul NAWAKSARA, dengan poin-poin yang disampaikannya:

1.Retrospeksi atas beragam gelar yang diterimanya dari Sidang Umum MPRS tahun 1960, dalam kesempatan ini beliau menyampaikan pengertian dari masing-masing penyebutan yang dilekatkan pada dirinya, seperti: Pemimpin Besar Revolusi, Mandataris MPRS, dan Presiden Seumur Hidup;

2.Landasan kerja melanjutkan pembangunan yang didasarkan pada:

§Trisakti: pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat (beliau jelaskan pula makna dari Amanat Penderitaan Rakyat yang dimaksud adalah seluruh Rakyat sebagai satu kesatuan, bukan dilihat secara parsial menurut intrepretasi kelompok/golongan tertentu), pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat dilakukan secara utuh penuh dan bersama-sama seluruh kekuatan dan komponen bangsa sebagai sebuah kesatuan yang utuh dan tidak terpecah belah dan tidak terbagi-bagi, pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat yang dilakukan secara bersama-sama sebagai satu kesatuan utuh dilandaskan pada berdaulat dan bebas dalam politik – berkepribadian dalam kebudayaan – berdikari dalam ekonomi;

§Rencana ekonomi perjuangan yang berpijak pada prinsip berdikari yang hanya mungkin dapat dicapai jika seluruh rakyat percaya pada kemampuan dirinya sendiri untuk melakukan perbaikan dan peningkatan taraf kehidupan;

§Pemahaman berdikari sebagai prinsip pelaksanaan pembangunan menyeluruh dan bukan menjadikannya sebagai tujuan pembangunan ekonomi yang malah mengucilkan diri dari pergaulan internasional. Prinsip berdikari dalam hubungan kerjasama internasional mengharuskan Indonesia berani bersikap merdeka dalam kerjasama internasional, sehingga dengan prinsip berdikari … kerjasama internasional yang terjadi antara Indonesia dengan Negara dan bangsa lain haruslah diletakkan pada dasar kesamaan derajat dan saling menguntungkan … dan menolak setiap bentuk kerjasama internasional yang hanya menumbuhkan sikap ketergantungan bangsa Indonesia terhadap superioritas/keunggulan bangsa dan Negara lain;

3.Hubungan Politik dan Ekonomi yang harus disadari sebagai sebuah kesatuan tak terpisahkan. Sehingga persoalan-persoalan Ekonomi-keuangan-pembangunan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari manifesto politik bangsa Indonesia;

4.Detail ke DPR terutama tentang penegasan bahwa setiap keputusan MPRS sebagai bahan acuan arah dan gerak pembangunan secara strategis perlu dirumuskan ke dalam perlbagai kebijakan ekonomi-politik yang dilaksanakan oleh Presiden dan DPR;

5.Tetap berpijak pada Demokrasi Terpimpin;

·Merintis jalan kearah pemurnian pelaksanaan UUD 1945 dengan melakukan pembenahan structural lembaga tinggi dan tertinggi Negara yang pernah diajukan dalam surat Presiden Mandataris MPRS kepada pimpinan DPRGR tanggal 4 Mei 1966, khususnya mengenai: RUU Penyusunan MPR – DPR – DPRD, RUU Pemilihan Umum, dan Penetapan Presiden No.3 tahun 1959 jo. Penetapan Presiden No.3 tahun 1966 untuk diubah menjadi Undang-Undang supaya DPA dapat ditetapkan menurut pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

1.Wewenang MPR dan MPRS;

2.Kedudukan Presiden dan Wakil Presiden;

3.Bagian Penutup yang menegaskan kembali arah perjuangan dan pembangunan di masa mendatang dengan tetap memegang teguh pada prinsip BERDIKARI.

·Pidato pertanggungjawaban tanggal 22 Juni 1965 tidak memuaskan MPRS (khususnya Jendral AH. Nasution –selaku ketua MPRS, dan Jendral Soeharto – selaku pemegang dan pelaksana dari Surat Perintah 11 Maret 1966. MPRS kemudian meminta kepada Presiden Soekarno untuk melengkapi NAWAKSARA dengan penjelasan beliau atas terjadinya peristiwa penculikan dan pembunuhan 6 orang Jendral AD dan seorang perwira menengah AD.

·10 Januari 1967, dengan surat bernomor: 01/Pres/67 … Presiden Soekarno memberikan jawaban atas permintaan dari MPRS mengenai peristiwa penculikan dan pembunuhan yang terjadi pada tanggal 01 Oktober 1965, dengan menjelaskan sebagai berikut:

1.Pidato Nawaksara memang tidak dimaksudkan untuk menjelaskan sebab musabab terjadinya peristiwa penculikan dan pembunuhan atas diri perwira-perwira Angkatan Darat, tetapi lebih merupakan Pidato Pertanggungjawaban Mandataris MPRS atas pelaksanaan mandate yang diterimanya;

2.Terjadinya peristiwa di pagi buta tanggal 01 Oktober 1965, dijelaskan oleh Prsiden Soekarno sebagai: complete overrompeling atas diri Preiden, operasi yang oleh Jendral Soeharto disebut sebagai G-30-S diluruskan sebagai Gestok (Gerakan 01 Oktober) dengan dasar pertimbangan bahwa D-day dan H-hour pelaksanaan operasi militer tersebut dilakukan pada tanggal 01 Oktober 1965;

3.Sebab musabab terjadinya peristiwa di Lubang Buaya pada 01 Oktober 1965 adalah karena keblingeran pimpinan PKI, kelihaian subversi Nekolim (Neo Kolonial dan Imperialis), serta adanya oknum-oknum yang tidak benar;

Selain memberikan penjelasan kepada MPRS atas pertanyaan yang telah diajukan, dalam suratnya ini, Presiden Soekarno juga menggugat dan mengajukan pertanyaan terkait sangkaan yang ditujukan kepadanya:

1.Kenapa saya saja yang diminta pertanggungan-jawab atas terjadinya G-30-S atau yang saya namakan Gestok itu? Tidakkah misalnya Menko Hankam (waktu itu) juga bertanggung jawab?

2.Adilkah saya sendiri disuruh bertanggung jawab atas kemerosotan di bidang ekonomi?

3.Tentang "kemerosotan akhlak"? Di sini juga saya sendiri saja yang harus bertanggung jawab?

4.Menyadari adanya faktor-faktor yang kompleks, yang menjadi sebab-musabab dari terjadinya peristiwa-peristiwa sebagai termaktub di atas, demikian pula mengingat kompleksitas dari pengaruh-pengaruh peristiwa-peristiwa tersebut kepada segala bidang, maka tidak adillah kiranya hal-hal itu dite, kankan pertanggungan-jawabnya kepada satu orang saja.

·Sejak ditolaknya NAWAKSARA, MPRS mengangkat Jendral Soeharto selaku pemegang SP 11 Maret 1966 sebagai Pejabat Presiden pada tanggal12 Maret 1967 untuk dipersiapkan menggantikan posisi Soekarno sebagai Presiden RI.

·Setelah melakukan berbagai upaya stabilisasi dengan menurunkan intensitas kekerasan kepada seluruh anggota dan simpatisan PKI, yang dilanjutkan dengan keberhasilan “mengandangkan” kembali mahasiswa ke dalam kampus, maka pada tanggal 27 Maret 1968 Pejabat Presiden Soeharto resmi dilantik menjadi Presiden RI menggantikan posisi Presiden Soekarno. KUDETA YANG DILANCARKAN SEJAK TANGGAL 01 OKTOBER 1965 OLEH JENDRAL SOEHARTO MENJADI PURNA PADA TANGGAL 27 MARET 1968.

Sejak tanggal 27 Maret 1968 hingga 21 Mei 1998 … wajah pemerintahan Jendral Soeharto dengan penyebutan diri sebagai ORDE BARU … pada kenyataannya lebih memperlihatkan KEBENARAN YANG TERSINGKAP SECARA PERLAHAN … BAHWA DEWAN JENDRAL TELAH MEMENANGKAN PERTARUNGAN POLITIK MEREBUT KEKUASAAN DARI PRESIDEN SOEKARNO DENGAN MENUMBALKAN ANTARA 500 RIBU HINGGA 1 juta JIWA MANUSIA INDONESIA YANG TIDAK TERLIBAT DENGAN PENCULIKAN DAN PEMBUNUHAN ATAS 10 ORANG PERWIRA ANGKATAN DARAT. Hal ini sekaligus menunjukkan superioritas SENJATA dari KEHENDAK BEBAS RAKYAT dengan rasio NYAWA 1 orang PERWIRA ANGKATAN BERSENJATA SEHARGA antara NYAWA 50 RIBU SAMPAI DENGAN 100.000 orang WARGA NEGARA INDONESIA.

----------------------------------------------------------- …. masih akan berlanjut ….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun