Keamanan manusia (human security) pada suatu negara merupakan salah satu isu yang sering dibahas dalam ilmu hubungan internasional. Keamanan manusia sendiri bertujuan untuk menjaga, mempertahankan, meningkatkan, maupun memperkuat keamanan masyarakat di dalam suatu negara demi kelangsungan hidup dan HAM.Â
Pada dasarnya, keamanan atau sekuritisasi berkembang di tengah-tengah suatu negara oleh karena timbulnya ancaman bagi keamanan itu sendiri. Banyak negara-negara yang mengalami suatu konflik dengan adanya isu keamanan manusia, tak terkecuali dengan negara-negara di Kawasan Oseania.
Kawasan Oseania memiliki perspektif sendiri tentang keamanan regional dan identik dengan masalah keamanan non-tradisional yang tidak berpusat pada negara dari kekuatan regionalnya.Â
Di mulai semenjak masa kemerdekaan negara-negara kepulauan di kawasan ini, adanya agenda masalah keamanan non-tradisional yang diperluas untuk mencakup perlindungan SDM, SDA, termasuk lingkungan dan perubahan iklim.Â
Hal ini didukung dengan adanya program kerja dari komunitas South Pacific Commission (SPC) atau Komisi Pasifik Selatan yang bergerak untuk pembangunan ekonomi, kesehatan, dan sosial-budaya guna memenuhi kebutuhan keamanan manusia di negara-negara Kawasan Oseania.
Sebelumnya, selama beberapa dekade setelah pembentukan SPC membuat tekanan dekolonisasi meningkat di Kawasan Oseania. Beberapa pemimpin negara kepulauan menegaskan klaim kepemilikan atas kepentingan keamanan regional mereka. Hal ini membuat situasi di Kepulauan Pasifik di mana mereka tidak pada posisi untuk mengelola partisipasi dalam urusan regional. Tak terkecuali dengan membentuk keamanan regional, khususnya keamanan manusia.
Salah satu isu keamanan manusia yang terjadi, terutama dengan Indonesia ketika Papua Barat menjadi bagian dari NKRI pada tahun 1962. Adanya ketidakterimaan Papua Nugini dengan menyatakan kesedihan karena tidak bisa melihat saudara satu ras mereka lagi.Â
Hal ini membuat marah pemimpin terkemuka Fiji pada saat itu. Ketika menghadiri SPC pada tahun 1965, Fiji menuntut perubahan di tingkat regional untuk memastikan bahwa pihak-pihak Pasifik Selatan saja yang dapat memutuskan siapa yang termasuk dalam wilayah mereka, bukan pihak dari luar.Â
Namun, situasi juga melunak dengan masuknya Samoa Barat ke dalam keanggotaan penuh SPC sebagai negara merdeka. Harapan untuk fokus terhadap regionalisme pun semakin kuat pada otonomi masyarakat negara kepulauan agar memutus isu keamanan manusia yang terjadi pada saat itu.
Selanjutnya, isu keamanan manusia juga dapat timbul ketika melihat kondisi negara-negara Kepulauan di Oseania yang masih bergantung pada negara-negara lain.Â
Dalam hal ini, dapat dilihat dari pengaruh barat, khususnya Amerika Serikat yang begitu mem-backing Kawasan Oseania demi mencegah pengaruh China di kawasan tersebut.Â
Antara AS dan Oseania sendiri sering bekerja sama dalam hal ekonomi-perdagangan maupun pertahanan militer. Memang baik, akan tetapi jika terus menerus ketergantungan terhadap AS, maka dapat mengancam SDM masyarakat di negara-negara Kepulauan Pasifik Selatan menjadi tidak berkembang secara maksimal. Sedangkan dari segi SDA, Kawasan Oseania sangat potensial dan diharapkan dari kawasan tersebut yang mengelolanya, bukan dari pihak luar.
Bagi negara-negara kepulauan di Pasifik Selatan, uji coba nuklir adalah masalah  manusia daripada keamanan negara. Ini mengadu risiko terhadap kesehatan manusia, lingkungan, maupun SDA laut terhadap manfaat keamanan negara yang dirasakan untuk kekuatan pengujian.Â
Melalui adanya Pacific Islands Forum (PIF) atau Forum Kepulauan Pasifik telah menjadi elemen penting bagi keamanan negara dan masyarakat dalam empat dekade terakhir sejak ditambahkannya ke pembangunan regionalisme. Keamanan manusia tetap menjadi fokus regional. Secara signifikan, kekuatan fokus keamanan manusia sedemikian rupa sehingga The Council of Regional Organisations in the Pacific (CROP) atau Dewan Organisasi Regional Pasifik menjaganya menjadi lebih inklusif.
Melalui PIF, regionalisme Kawasan Oseania menjadi nyata untuk memasuki tujuan baru sebagai regionalisme Pasifik Selatan. Adapun program Pacific Plan sebagai perwujudan integritas dan integrasi regionalisme di tengah era memasuki abad ke-21. Program ini memiliki pilar-pilar sebagai kerangka dasar pemikiran, diantaranya ekonomi yang meningkat, perkembangan berkelanjutan, Â pemerintahan yang baik, keamanan, dan memonitor serta mengevaluasi. Pilar-pilar tersebut yang mendasari kerja sama wilayah-wilayah regionalisme dengan harapan dapat memajukan Kawasan Oseania atau Pasifik Selatan menjadi wilayah regional yang terintegrasi, berintegritas, dan selalu mengedepankan kelangsungan hidup masyarakatnya guna meningkatkan human security.
DAFTAR PUSTAKA
Herr, R. A. (2015). Regional Security Architecture in the Pacific Islands Region: Rummaging through the Blueprints. Regionalism, Security, and Cooperation in Oceania, 24.
Dugis, V. (2015). Memahami Peningkatan Kehadiran China di Pasifik Selatan: Perspektif Realisme Stratejik. Global dan Strategis, Vol. 9 No. 1, 3.
Browne, C. (2006). The Pacific Plan for Strengthening Regional Cooperation and Integration. Pacific Island Economies, 31.
Penulis:
Fransisco Da Briliant Lambasarta S
07041282126102
Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Sriwijaya
Dosen Pengampu: Nur Aslamiah Supli, BIAM, M.Sc.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H