Mohon tunggu...
Fransisco Xaverius Fernandez
Fransisco Xaverius Fernandez Mohon Tunggu... Guru - Guru SMPN 1 Praya Lombok Tengah NTB

cita-cita menjadi blogger Kompasiana dengan jutaan pembaca, penulis motivator kerukunan dan damai sejahtera. selain penulis juga pengurus FKUB Kabupaten, Pengurus Dewan Pastoral Paroki Gereja Katolik Lombok Tengah NTB.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Blug!

22 November 2022   02:00 Diperbarui: 22 November 2022   02:07 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Fransisco Xaverius Fernandez

Ketika aku ke teras rumah untuk mematikan lampu teras, ku dengar suara khas : “Meong….” Agak panjang tapi lembut.

“Pah, itu si manja Oyen di atap! Tolong di ambil!” teriak istriku dari dapur. Biasalah istriku sedang menyiapkan sarapan.

Oyen adalah kucing kami yang benar-benar manja. Ia tidak mau pergi dari halaman belakang rumah. Apalagi kini ia mempunyai ‘tanggung-jawab’ menjaga dua adiknya yang masih kecil. Kedua adiknya ini sudah tidak mau diurus oleh induknya.

Tapi yang menyebalkan sebenarnya adalah si oyen bisa ke depan tapi tidak mau turun sendiri dari atap seperti kebanyakan kucing. Ia minta di ambil. Walaupun atap rumah kami tidak terlalu tinggi, namun memerlukan kursi untuk mengambilnya di atap.

Saat itulah kulihat bulan sabit di kejauhan. Kulihat dari atap rumah. Indah sekali. Seolah ia menyapaku :”Bagaimana kabarmu, teman?”

Bulan Sabit Di Atap Rumahku (Dokpri)
Bulan Sabit Di Atap Rumahku (Dokpri)

Kujawab dengan ceria: “Puji Tuhan, baik saudaraku!”

“Apa rencanamu hari ini?”

“Banyak sebenarnya, namun semuanya membutuhkan ketekunan, keberanian, ketulusan, dan dana!”

“Sepertinya ada masalah dana di sini?” tanya sang Bulan sabit.

“Biasalah, teman!” sahutku. Lalu kuceritakan tentang karunia besar Tuhan. Setelah kusapa Dia di pagi yang cerah ini. Doa mohon karunia Roh Kudus selalu kami daraskan agar kami selalu dipimpin Allah hari ini.

Memang kami punya masalah yang perlu disampaikan kepada rembulan dan bintang-bintang. Karena merekalah yang paham walaupun mereka lebih banyak mendengarkan segala keluh-kesahku.

Bagaimana setiap hari kami begitu khawatir dalam menjalani hidup. Kami ke kantor, di sana ada orang yang menagihku. Kami keluar rumah, sudah ada tetangga yang menyapaku basa-basi. Padahal mau bertanya ‘kapan nyetor?’ dan masih banyak lagi.

Belum lagi tangis istri dan anakku yang harus kuberikan rejeki makanan dan bekal hidup. Di mana aku telah berjanji kepada Tuhan untuk menjaga titipan-Nya ini dengan sebaik-baiknya.

“Kamu harus memberi mereka makan!” perintah Tuhan kepadaku.

“Ohya, mereka harus sehat dan segala kebutuhan mereka harus terpenuhi!” Tuhan makin memperjelas pesan-Nya kepadaku.

“Ya Tuhan, siap!” jawabku lirih… aku hanya bisa menangis di saat sepi di hadapan Tuhan. Walaupun lara terus mengguncangku, aku harus tegar. Jangan mudah putus asa!

Ilustrasi (Dokpri)
Ilustrasi (Dokpri)

Tuhan terus memantauku dan memberiku semangat.

“Jangan takut anak-Ku! Aku senantiasa mendampingimu selamanya!”

“Tapi Tuhan kenapa berat nian beban hidup ini? Kata-Mu selalu mendampingiku. Mana buktinya?!”

“Coba lihat hanya ada sepasang bekas telapak kaki di ubin rumahku dan aku tahu itu aku yang berjalan sendiri!” aku makin berani mengungkapkan semua ini. Ada nada amarah dalam doaku ini.

“Coba perhatikan baik-baik telapak kaki siapa itu?” tanya Tuhan kepadaku. Lalu kuperhatikan baik-baik, sepertinya bukan telapak kakiku. Karena komposisi telapak kaki itu benar-benar sempurna. Sungguh telapak kaki yang agung!

“Eh, bukan Tuhan.” Aku tersipu malu. “Kalau kakiku besar tapi tidak enak dilihat!”

“Benar anak-Ku. Ketika kamu sedang gembira , kamu melihat dua pasang kaki di sana bermain dengan gembira. Namun di saat kamu mulai goyah karena sedih dan banyak masalahmu, hanya ada sepasang kaki di sana karena Aku menopang dan seringkali menggendongmu di bahu-Ku!” Tegas Tuhan kepadaku.

“Ih Tuhan akukan sudah tua, masakan Engkau menggendongku?”

“Nah, inilah penyakit orang tua. Gengsi mencurahkan perasaannya pada-Ku!”

“Apalagi kamu Bapak-bapak, eh gengsinya makin tinggi. Takut dibilang lemah!”

“Menangislah saat kamu menghadap-Ku dalam doa-doamu. Ungkapkan semuanya tidak perlu ditutup-tutupi. Karena jumlah rambutmupun Aku tahu!” kata Tuhan menguatkanku secara beruntun. Mungkin Ia mau mengingatkanku karena ke-ngeyelan-ku.

“Aku ini lemah-lembut. Pikullah kuk yang Kupasang di bahumu. Bebanmu ringan karena Aku tahu bagaimana kemampuanmu! Percayalah Aku akan mengantarmu ke jalan yang benar. Dan kamu pasti akan bahagia!”

“Terimakasih Tuhan. Tapi Tuhan aku masih takut keluar rumah karena mereka yang menagihku masih menunggu jawabku.” Kataku masih lirih..

“Percayalah pada-KU, semua hutangmu akan Kulunaskan. Semua kewajibanmu akan Kubayar. Dan segala kebutuhan hidupmu akan kuberkati sehingga kalian tidak berkekurangan!” Tuhan makin mempertegas ucapanan-Nya karena aku masih ngeyel aja.

“Tapikan…”

“Tidak ada tapi-tapian!” potong Tuhan ketika aku masih ragu.
“Ingat Rancangan-Ku berbeda dengan rancanganmu. Dan JalanKu yang Kusiapkan bagimu bukan jalan yang kau rancang!“

“Bagimana sekarang: apakah kamu percaya kepada-Ku, anak-Ku?” suara Tuhan mulai melembut melihatku makin khusuk di depan-Nya.

“Siap, Tuhan. Aku Percaya kepada-MU! Jagalah imanku! Aamiin…”

Mangga (Dokpri)
Mangga (Dokpri)

Tiba-tiba aku dikagetkan oleh sebuah suara yang cukup keras di pagi yang sunyi:

Blug!

Blug!

Blug!

Blug!

“Pah, ada mangga jatuh itu!” teriak istriku dari dapur rumahku…

“’kan sudah di petik semua mangga oleh pemiliknya?” tanyaku.

“Tapi itu pasti suara mangga jatuh!” jawab istriku.

Aku keluar dan benar ada mangga matang yang jatuh. Seolah Tuhan memberitahuku bahwa TIDAK ADA YANG MUSTAHIL BAGI TUHAN.

====

Praya, 22 November 2022

Salam damai sejahtera dari Pulau Jalan Lurus – Lombok

Dari Opa Sisco yang selalu bahagia…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun