Dilematika Komunikasi Bertetangga
Â
OLEH FRANSISCO XAVERIUS FERNANDEZ
Â
Aku tinggal di Perumnas yang berada di Praya Tengah Lombok Tengah - NTB. Perumahan ini termasuk padat, bahkan saking padatnya taman bermain anak di jadikan sarana pembangunan Mushalla RT dan tempat parkir mobil. Sarana untuk masyarakat yang punya kendaraan tapi tidak ada tempat parkir.
Akibat dari kebijakan tersebut, total anak-anak bermain di jalanan. Salah satu jalanan paforit mereka adalah di depan rumah kami. Penyebabnya adalah kami sengaja melebarkan jalanan di depan dengan beton cor agar mereka bisa bermain puas. Selain itu ada pohon mangga yang cukup rindang sehingga tempat tersebut menjadi sejuk. Sedangkan di jalan lainnya mereka di larang untuk bermain. Dengan alasan ribut dan bising.Â
Sore ini kulihat anak-anak bermain bola dengan keramaian para bocah. Yang bermain hanya sepuluh orang, tapi suaranya seperti 22 orang ditambah riuhnya penonton di stadion sepak bola.
Sebenarnya di awal-awal jalanan rumah kami digunakan sebagai tempat bermain mereka, istriku sering marah-marah. Namun setelah memahaminya bahwa mereka butuh tempat bermain. Dan di satu pihak para Bapak dengan teganya mengubahnya menjadi sarana umum lainnya. Istriku pun yang mudah trenyuh akhirnya justru mendukungnya, yaitu salah satunya dengan melebarkan jalan di depan rumah kami.
Ada hal yang membuat kami agak kurang setuju ketika anak-anak ini justru di larang bermain di sarana bermain yang semula dibuatkan untuk mereka. Karena alasannya adalah nanti kena mobil-mobil tersebut, atau ribut karena ada orang yang sedang beribadat.
Maka setelah melihat kenyataan itu, istriku hanya meminta agar mereka bermain di sore hari sekitar jam 4 ke atas. Istriku menjelaskan agar kami bisa istirahat sampai jam 3. Dan mereka pun bisa memahaminya karena disampaikan baik-baik.