Mohon tunggu...
FRANSISCA VITA
FRANSISCA VITA Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kuli Angkut dari Banten

11 Juni 2016   12:28 Diperbarui: 11 Juni 2016   12:42 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENDENGAR nama Banten, pikiran orang langsung tertuju kepada debus. Banten memang terkenal dengan seni pertunjukan yang memperlihatkan permainan kekebalan tubuh terhadap pukulan, tusukan, dan tebasan benda tajam itu. Namun, Banten tak melulu soal debus. Banten juga punya ‘wajah’ lain yakni daerah pemasok kuli angkut di pasar.

Selama dua kali observasi di Pasar Jaya Cijantung, Jakarta Timur, Jumat, 4/3 dan  Pasar Kranji, Bekasi, Sabtu, 2/4, para kuli angkut di sana berasal dari wilayah paling barat Pulau Jawa itu. Mereka hijrah dari kampung halaman ke Jakarta dan Bekasi membawa misi mulia demi mencukupi tuntutan kebutuhan keluarga. Sayang, tekad baik itu masih jauh api dari panggang.

Permintaan Orangtua

Yanto tak bisa mengelak permintaan bapaknya. Sebelum meninggal, ia diminta bapaknya untuk meneruskan pekerjaannya sebagai kuli angkut di Pasar Jaya Cijantung. Pria kelahiran Banten, 50 tahun silam itu hanya terdiam. Ia tak kuasa menolak pesan bapaknya yang didera gering karena usia.

Pria kelahiran Banten, 50 tahun silam itu datang ke Pasar Jaya Cijantung, begitu bapaknya meninggal. Pada 1990, Yanto melanjutkan pekerjaan bapaknya. Belum lama nguli di Pasar Jaya Cijantung, Yanto meminang perempuan sekampung dengannya. Pada pertengahan tahun itu, ia mengikrarkan janji setia kepada perempuan yang telah dipilihnya.

Buah pernikahan itu, mereka dikarunia lima anak: satu perempuan dan empat laki-laki. Yanto sadar, menyandarkan ekonomi keluarganya hanya dari ngangkut barang di pasar tak akan bisa menutup kebutuhan rumah tanggannya. Maka ketika sang istri menggulirkan rencana untuk membuka warung, Yanto merestui.

Yanto sadar, pendidikannya yang hanya mentok di bangku sekolah dasar (SD) tak leluasa baginya untuk mencari pekerjaan lain. Ia tak punya sawah. Orangtua Yanto pun tak mewariskan apa-apa untuk anak-cucunya. “Yang penting pekerjaan ini halal”, katanya, menandaskan.

Meski kondisi ekonomi keluarganya pas-pasan, Yanto amat perhatian dengan pendidikan anak-anaknya. Ia tak mau pendidikan buah hatinya karam di bangku pendidikan dasar, seperti dirinya. Maka sedikit dari pendapatan dari nguli barang selalu ia sisihkan untuk pendidikan kelima anaknya.

Berkat kegigihan dan rajin menabung, Yanto bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan. Dua dari kelima anaknya kini sudah bekerja di sebuah pabrik kopi di Tangerang. Mantunya pun berjualan pakaian. Yanto bersyukur, mereka bisa membantu meringankan tuntutan ekonomi keluarga.

Meski begitu Yanto tak bisa mengelak, seluruh penghasilan keluarga hanya cukup menambal kebutuhan sehari-hari. Selain itu, ia masih tinggal seatap dengan anak, mantu, dan cucunya.

Terdorong Kemiskinan

Kemiskinan mendesak Saduk berpisah dengan keluarganya. Pria kelahiran Banten, 56 tahun silam baru pulang ke rumah seminggu atau sebulan sekali. Ia mengis rejeki dengan menjadi kuli angkut di Pasar Kranji, Bekasi. Saduk memulai pekerjaannya itu sejak masih berusia 17 tahun.

Bapaknya meninggal kala ia masih kecil. Sejak kepergian bapaknya, seluruh kebutuhan keluarga ditopang oleh ibunya. Sang ibu membanting-tulang dengan menggarap sawah milik tetangganya. Beruntung pula, pemilik sawah itu memberikan rumah untuk mereka tinggali. Hingga kini rumah itu ditempati Saduk bersama ibu dan keluarganya.

Anak pertama dari dua bersaudara itu mengenang, penghasilan ibunya dari menggarap sawah hanya cukup untuk membeli makan-minum sehari-hari. Tak ayal karena penghasilan pas-pasan, Saduk memutuskan untuk meninggalkan bangku pendidikan. Ia tak lulus sekolah dasar. Ia merelakan adiknya untuk melanjutkan sekolah.

Di tengah situasi ekonomi keluarganya nan pelik, Saduk justru berani menikahi seorang perempuan. Tak ada acara apa pun yang mereka buat, hanya akad nikah di hadapan penghulu. Itu pun berlangsung di dalam gubuk mereka yang reyot termakan usia. “Yang penting sah dulu di mata Allah”, katanya, berkilah.

Tak ada istilah ‘bulan madu’ bagi Saduk seperti banyak pasangan usai menikah. Usai menikah, Saduk justru meninggalkan ibu dan istrinya. Ia hijrah ke Bekasi mengikuti saran temannya. Di sana, ia menjadi kuli angkut di Pasar Kranji, sama seperti yang dilakukan temannya.

Saduk mengenang, saat pertama kali menjadi kuli angkut di pasar, ia harus pandai-pandai memburu rezeki, tetapi tetap sadar dengan kemampuan fisiknya. Memang, pekerjaan itu tak butuh otak untuk berpikir, kata Saduk, tetapi jika tak cermat, fisiknya bisa roboh. Tentu ini menambah beban pengeluaran.

Pasang Surut

Saduk menceritakan, penghasilannya sebagai kuli angkut bak laut, ada pasang-surut. Sekitar 1980-an, katanya mengenang, rata-rata penghasilannya sehari Rp 15.000. Ia masih bisa menyisihkan banyak uang untuk dibawa ke rumah karena harga kebutuhan kala itu masih murah.

Saduk mengumpulkan sebagian penghasilannya sehari-hari. Uang itu ia serahkan langsung ke istrinya ketika pulang. Ia kembali ke Banten tak tentu, bisa seminggu atau sebulan sekali. “Tergantung uang yang saya kumpulkan”, katanya saat ditemui di Pasar Kranji.

Seiring waktu, Saduk bisa menghasilkan Rp 100.000 per hari. Tetapi pendapatan itu imbuhnya, nyaris tak ada arti karena saat ini harga barang-barang amat melambung tinggi. Saduk merinci, sehari untuk makan ia mengeluarkan uang Rp 30.000, kopi Rp 5.000, tiga botol air kemasan Rp 15.000, dan Rp 10.000 untuk mandor. Saduk tak mengeluarkan uang untuk tempat tinggal. Selama menjadi kuli angkut, ia tidur di emperan toko.

Meski pengeluaran sehari-hari nyaris sebanding dengan pendapatannya, Saduk rela  ‘membakar’ uang Rp 22.000 untuk membeli dua bungkus rokok. Pengeluarannya untuk rokok hampir sebanding dengan biaya makannya per hari. Atau lebih besar dari kebutuhan membeli air. Saduk mengakui, ia lebih memilih mengurangi biaya untuk membeli air daripada mengurangi jatahnya merokok. “Saya masih bisa minum kopi”, katanya, santai.

Konsumen yang membutuhkan jasa kuli angkut, seperti Saduk memang tak seramai dulu. Sementara itu, jumlah kuli angkut kian membludak. Namun, tak ada di benak Saduk untuk meninggalkan pekerjaan yang sudah 30 tahun lebih dijalaninya. Tak terlintas pula dalam batinnya untuk berhenti dari pekerjaannya. Padahal ia bisa tinggal di rumah, bersama istri, anak, dan cucunya yang butuh kehadirannya sepenuh waktu.  

Tantangan Utama

Tantangan utama untuk kuli angkut yang sepenuhnya mengandalkan kekuatan fisik adalah kesehatan. Sayang, kebutuhan utama ini tidak mendapat perhatian serius. Saduk, misalkan, dengan mudah mengatakan, jika sakit ia ke warung membeli obat. Syukurlah jika gering yang dideritanya sebatas flu atau batuk, jika ternyata mengindap penyakit lain yang lebih kompleks ke mana ia mesti berobat?

Kesempatan mendapat layanan kesehatan yang lebih optimal selalu ada. Sayang, Saduk abai hal itu. Ia tak sudi mengurus surat-surat demi mendapat layanan kesehatan nan prima. Padahal orang-orang seperti Saduk rentan terkena penyakit. Jika ia sadar, keberadaannya menjadi tulang punggung keluar, seharusnya ia peka soal kesehatan.

Rupanya Saduk tak terlalu menghiraukan soal kesehatan. Hal sederhana, ia justru lebih memilih mengurangi pasokan air bagi tubuhnya ketimbang mengurangi jatah rokok harian. Seandainya tak merokok, selain demi kesehatan, ia bisa menambah pendapatan untuk dikirim kepada keluarganya.

Memang hal terberat mengajak orang menjaga kesehatan dan keluar dari jerat kemiskinan adalah tak ada kemauan dari yang bersangkutan. Jika sudah seperti itu, jangan menyalahkan orang lain. “Saya merasa kecewa. Kenapa pekerja seperti saya tidak diperhatikan soal kesehatan”, kata Saduk. Bagaimana orang bisa memperhatikan, jika diri sendiri saja tak peduli dengan kesehatannya sendiri?

Fransisca Vita Kristanti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun