Mohon tunggu...
Fransisca Putri
Fransisca Putri Mohon Tunggu... Penulis - Universitas Sebelas Maret

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rayuan Syukur Seruan Asa

12 Desember 2024   13:00 Diperbarui: 12 Desember 2024   13:36 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sayup-sayup angin berhembus dalam heningnya pagi buta  yang dingin ini. Saat semua orang masih terlelap dalam tidurnya, saat semua orang masih menjelajahi alam mimpi, ternyata masih ada banyak orang yang ingin menghidupkan mimpinya. Nampak seorang wanita renta tengah membasahi wajah, tangan dan kakinya seperti sedang berwudhu. Gemericik air dari bambu yang dialirkan dari sungai seberang sana sebagai penghidup masyarakat desa kecil itu.

Sajadah telah ia gelar, nampak tengah merapikan mukena kusut yang ia akan tunjukkan saat menghadap Sang Khalik dengan penuh ketenangan. Saat banyak orang dengan nasib yang kurang baik, adunya pada Tuhan serasa yang paling pelik hidupnya. Lirih ku dengar tangis wanita renta itu, bukan ia menyesal akan takdirnya, bukan ia menyalahkan Tuhan yang menghidupkannya, tak habis pikir ternyata malaikat dunia itu ada. “Duh Gusti, kula urip ning ngalam dunyo iki amergo Panjenengan yakin kula iso. ananging yen wes tibo waktune kula ngadep Panjenengan, sapa sing arep ngurus kula Gusti. Kula niku dewe teng ndunyo niki” *Duh Tuhan, saya hidup di alam dunia ini sebab Engkau yakin saya bisa, namun jika sudah tiba saatnya saya menghadap Engkau, siapa yang akan mengurus saya. Saya ini sendiri di dunia ini. Sendu, rintihan tangisnya membuai hatiku yang keras ini. Syukurnya tak terbatas, senyumnya tak tergilas. Hidupnya hanya untuk mendamba pada Sang Pencipta yang ia sudah yakin betul akan janji-Nya.

Dalam keheningan itu, ia masih terbuai pada sujudnya. Seperti hanya sujudlah ia terasa dekat dengan Zat yang ia cintai, yakini dan rindukan. Sudah sejam wanita renta itu tak beranjak, masih dengan selimut pilu yang mengendap pada hatinya. Siapa orang yang tak kesepian di dunia yang seluas ini jika diarungi sendirian. Waktu mulai beranjak memanggil matahari, wanita renta itu pulang pada gubuknya yang reyot. Aku menghampirinya untuk menyapa malaikat dunia itu. Ku dekatinya, namun seperti ada yang aneh padanya. Ia seperti tak melihat kehadiranku namun, merasakan ada yang datang mendekatinya. “kula ngerti nduk, enten nopo kok mriki” *saya ngerti nak, ada apa kok datang kesini. Seperti tak ada yang aneh pada dirinya, namun baru saja aku sadari. Wanita renta ini tak dapat melihat, ia penyandang tunanetra. Mulutku terkunci mendapati fakta seperti ini. meskipun banyak yang hilang dari dirinya tapi mengapa syukurnya tak pernah luntur, mengapa ia seyakin itu pada Tuhan yang berlaku tak adil bagi sebagian banyak orang yang hilang iman. “saya lihat mbah saat menunaikan tahajjud tadi, ada yang ingin saya tanyakan. Apakah boleh mbah?” Ragu-ragu aku ucapkan pertanyaan itu. Senyum yang indah terlukis di bibir keriput yang telah dimakan usia itu.

“arep takon opo to nduk, tapi mbah gabiso suwe soale arep jajakne dagangane mbah ning pasar kuta” *mau tanya apa nak, tapi mbah gak bisa lama soalnya mau jualan dagangannya mbah di pasar kota.

“eh, boleh saya bantu mbah? kebetulan saya tidak ada keluarga disini. Sengaja menengok kampung halamannya eyang” harapku semoga diiyakan.

“yowis nduk, ayo selak bis e budal” *Ya udah nak, ayo keburu bisnya berangkat.

Ku ikuti saja, ternyata wanita renta ini berjualan tempe di pasar kota. Ada rasa kagum terselip di hatiku melihat malaikat dunia ini tak ada rasa putus asanya menjejak langkah meski rapuh merayapi ototnya. Mbah Jum namanya, ku dengar orang-orang menyapa dengan ramah padanya. Ada yang menarik dari diri Mbah Jum, lantunan sholawat terlantun dengan sangat baiknya. Hatiku menghangat entah sihir apa yang sholawat itu ciptakan tapi serasa dekat sekali dengan ketenangan.

Aku pun memulai menggelar tikar sebagai tempat berdagang hari ini, Mbah Jum seperti melihatku karena tak sengaja kudapati senyum yang terpatri indah di sudut bibirnya. Selesai sudah, akupun membuka percakapan

“Mbah Jum, kenalin nama saya Hayati. Sengaja saya ikuti Mbah Jum sejak tadi. Terpancar indah akhlak nian Mbah sebagai panutan. Terlampau tinggi sabar nian tuk dijadikan dambaan”

Senyum Mbah Jum terukir tipis, nampak kerutan didahi dan juga pipinya.

“Bolehkah saya bertanya ke Mbah Jum perihal apa yang menjadi kegelisahan saya?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun