Mohon tunggu...
Fransisca Mira
Fransisca Mira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Student of Cognitive Science & Psychology

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kuliah di Jerman, Kok Kerasan?

22 Agustus 2022   04:48 Diperbarui: 22 Agustus 2022   08:46 1856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjadi kelinci percobaan dalam penelitian dengan helm EEG | Dokumentasi pribadi

Kalau membahas kehidupan mahasiswa perantau di luar pulau atau luar negeri, apalagi yang sudah bertahun-tahun kuliah, pasti tidak lepas dari duka lara. Hidup jauh dari tanah kelahiran dan orang-orang yang dicintai, kok kuat ya?

Tidak terasa, saya pun sudah hampir 4 tahun merantau di Jerman. Pertanyaan yang sering saya dapatkan, "kok betah?"

Jerman terkenal dengan kata "dingin", tidak hanya cuacanya, namun juga makanannya dan orang-orangnya. 

Seorang teman saya kapok pergi jalan-jalan ke Jerman karena menganggap mereka ketus dan tidak mau berbicara bahasa inggris.

Jadi, kok betah? Satu nasihat yang pernah saya dengar, (walaupun sebenarnya ditujukan pada kehidupan pernikahan, namun menurut saya juga relevan untuk kehidupan perantauan) yaitu: setiap melihat satu kekurangan dari pasangan, lihatlah juga lima kelebihannya. Demikian pula dengan tanah rantau.  

Saya ingin membahas lima kelebihan kehidupan mahasiswa rantau di Jerman, karena perjalanan studi saya masih panjang. 

Semoga juga bisa menguatkan teman-teman yang ingin atau sedang merantau ke daerah dingin juga.

1. Kuliah "Gratis"

Pendidikan di Jerman, dari Kindergarten (TK) hingga S3 di universitas pada prinsipnya dibiayai uang pajak. Bahkan untuk S3, kebanyakan orang mendapat gaji dari universitas, jadi statusnya adalah pekerja universitas. Gratis saya beri tanda kutip di sini karena memang berlaku syarat dan ketentuan.

Misalnya, biaya hidup di Jerman tentu lebih tinggi daripada di Indonesia. Di kota kecil seperti Kaiserslautern, 500 euro (sekitar 7.5 juta rupiah) perbulan sudah mencukupi hidup sederhana, tapi di kota besar seperti Berlin jumlahnya bisa 800 euro.  

120 euro di antaranya adalah biaya wajib asuransi pelajar, yang mencakup berbagai fasilitas Kesehatan, lebih lengkap daripada BPJS tingkat 1. Misalnya, untuk ke dokter gigi, cedera tulang seperti patah atau retak, berbagai macam vaksin termasuk HPV, semua ditanggung. 

Setiap semester, walaupun biaya pendidikan sebenarnya ditanggung pajak, kita tetap wajib membayar biaya "lain-lain" 245 euro, yang mencakup administrasi dan tiket semua jenis kendaraan umum di seluruh negara bagian "Rheinland-Pfalz". 

Biaya ini tentu lebih rendah biaya kuliah di Indonesia, yang bisa mencakup 5 juta rupiah hingga seharga mobil mewah keluaran terbaru untuk jurusan yang bergengsi.

Untuk lebih detail mengenai biaya ini sudah dibahas Bu Theresia Iin di sini.

2. Pembelajaran yang aktif dan dua arah

Konsep ini mungkin sudah umum diketahui dan digalakkan sekolah dan institusi pendidikan di Indonesia, namun baru di Jerman saya merasakannya secara langsung. 

Seminar (kelas kecil di universitas) sering dimulai dengan brainstorming, para profesor meminta pendapat mahasiswa tentang suatu topik, baru kemudian menjelaskan lebih dalam. 

Di Indonesia, paling tidak generasi jadul seperti saya dan sebelumnya, biasanya murid "duduk manis" secara harafiah, hanya duduk diam mendengarkan guru dan menjawab kalau ditanya. 

Jika ada murid yang aktif bertanya dan mengemukakan pendapat, bisanya akan dianggap aneh oleh murid lainnya, atau bahkan gurunya.

Tapi, budaya malu dan takut salah di kelas ini tidak ekskusif milik kita saja, tetapi juga milik orang-orang Asia lain yang saya temui di Jerman. 

Pada hari pertama di kelas, saya cukup kaget dengan para mahasiswa yang berebut untuk mengemukakan pendapat, terutama mereka yang dari negara Barat. 

Mahasiswa Asia biasanya baru akan angkat suara ketika ditanya, kecuali mahasiswa India yang juga cukup blak-blakan seperti mahasiswa Barat.

Gerbang Bibliothek atau Perpustakaan Uni Heidelberg | Dokumentasi pribadi
Gerbang Bibliothek atau Perpustakaan Uni Heidelberg | Dokumentasi pribadi

3. Open minded dan rendahnya senioritas

Orang Jerman terbuka dengan perbedaan pendapat. Biasanya mereka tidak menganggap suatu jawaban atau pendapat salah, mereka hanya mengemukakan kalau mereka juga berpendapat sama atau berbeda.

Banyak pula mahasiswa yang tidak setuju dengan profesor mengemukakan keberatannya, bahkan dengan nada yang menurut saya cukup kasar. Malah saya yang merasa tidak enak pada si profesor, karena di Indonesia, kita terbiasa menghormati orang yang lebih tua. 

Di kampus, juga lumrah memanggil nama profesor yang seumur orangtua atau kakek nenek saya dengan nama depannya, misalnya Katja atau Hans, tanpa embel-embel Prof, Dokter, Mister, dll. 

Awalnya saya merasa canggung, namun lama-lama terbiasa juga. Kadang, enak juga melepas filter senioritas dan merasa bebas mengemukakan pendapat terlepas dari umur lawan bicara. 

Sebaliknya, saya juga harus membiasakan diri mendengar anak kecil memanggil nama depan saya tanpa embel-embel Mbak atau Tante, tanpa rasa kaget dan sedikit tersinggung seperti yang saya rasakan di awal mendarat di Jerman.

4. Teratur dan dapat diandalkan

Orang Jerman terkenal dengan keteraturan dan kedisiplinannya, maka sehari-hari frasa favorit mereka adalah "In Ordnung" atau semua beres (harafiah: dalam aturan). 

Jika kita bertanya ke orang Jerman di akhir tahun, misalnya bulan November, umumnya mereka sudah tahu kapan dan ke mana mereka akan ambil cuti dan liburan di awal hingga akhir tahun depan, karena memang di bulan November pekerja harus sudah mengumpulkan kertas rencana cuti tahun depan ke atasannya.

Di depan komputer laboratorium eye-tracking | Dokumentasi pribadi
Di depan komputer laboratorium eye-tracking | Dokumentasi pribadi

 Saat menjalankan eksperimen eye-tracking dengan mahasiswa Jerman, 99% mereka selalu datang tepat waktu.

Sebaliknya, ketika menjalankan eksperimen dengan mahasiswa internasional, khususnya yang berasal dari negara dunia ketiga, sering sekali terlambat dengan berbagai alasan, atau bahkan tidak datang! Padahal, jarak rumah saya ke laboratorium sekitar 30 menit dengan bus, jadi saya sudah menghabiskan waktu sejam di jalan.

Di minggu kuliah saya yang pertama, saya selalu datang ke seminar  mengikuti aturan ini, tepat waktu atau kurang dari 5 menit. Tapi, para Profesor selalu sudah lebih dahulu ada di kelas.

Di minggu berikutnya baru saya tahu, kalau mereka selalu datang 15-20 menit sebelum seminar untuk mempersiapkan semuanya. 

Selanjutnya saya pun berusaha untuk datang lebih awal lagi, sesuatu yang bertolak belakang dari saat kuliah di Indonesia. Kebiasaan buruk saya, dan mungkin banyak teman mahasiswa lain: jika kuliah dimulai jam 8, saya baru berangkat jam 8 pula.

Disiplin orang Jerman pun tidak hanya mencakup kewajiban, namun juga hak. Ketika liburan, tidak ada Profesor atau guru di sekolah yang memberikan PR. 

Mereka akan benar-benar abstain dari bekerja dan belajar; tidak heran hampir semua toko dan bisnis tutup di hari Minggu dan hari raya. Juga ketika dosen sedang liburan email kita akan dibalas setelah mereka selesai liburan.

Kalau tidak betul-betul mendesak, saya tidak akan menghubungi orang Jerman yang sedang liburan karena hal itu tabu hukumnya. Maka, semua harus direncanakan sebelumnya, karena cuti wajib di Jerman bukan hanya 12 hari seperti di Indonesia, tetapi sekitar 6 minggu!

5. Teknologi State-of-the art

Sebagai mahasiswa ilmu sosial di sebuah kampus teknologi (Technische Universitt), kadang kami sering mengeluh karena program studi kami bukan prioritas, dibandingkan dengan jurusan Teknik, informatika, matematika, dsb. Walaupun menjadi anak bawang, kami tetap dapat menikmati berbagai teknologi terkini untuk penelitian.

Misalnya, salah satu kamera eye-tracking (pelacak gerakan mata) tercanggih pada masa ini. Umumnya, alat eye-tracking yang digunakan untuk main game atau penelitian interaksi manusia dengan komputer hanya beresolusi rendah.

Namun kamera dari SR Research yang kami gunakan resolusinya 1000 Hz, artinya kamera ini mengambil 1000 gambar setiap detik! 

Hal ini penting karena dalam penelitian psikologi kognitif, gerakan mata di setiap milidetik harus diteliti.

Menjadi kelinci percobaan dalam penelitian dengan helm EEG | Dokumentasi pribadi
Menjadi kelinci percobaan dalam penelitian dengan helm EEG | Dokumentasi pribadi

Demikian juga alat pencitraan gelombang otak (brain imaging technique). Di kampus saya hanya ada perekam gelombang listrik otak EEG (Electroencephalography). 

Namun di universitas lain yang lebih berfokus pada psikologi dan neurologi, mereka biasanya bekerja sama dengan klinik atau rumah sakit untuk dapat menggunakan teknik magnetik yang lebih canggih misalnya MRI atau fMRI.

Kampus yang indah seperti di Mannheim, juga salah satu sumber motivasi | Dokumentasi pribadi
Kampus yang indah seperti di Mannheim, juga salah satu sumber motivasi | Dokumentasi pribadi

Tentu kelima ini adalah sumber motivasi eksternal untuk mahasiswa perantau. Dalam psikologi, motivasi internal masing-masing individu akan lebih bertahan lama: misalnya karena ingin menekuni penelitian, ingin menjadi diaspora sukses, ingin membanggakan keluarga, dan sebagainya. 

Namun, semoga sekiranya hal-hal kecil ini memotivasi teman-teman untuk menempuh ilmu ke tanah asing.

Disclaimer:
Sebagian dari tulisan ini (poin 2 dan 3) pernah saya publikasikan di website Deutsche Welle di sini, dengan fokus yang berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun