Setelah menjelajah beberapa kota di Italia dari tengah hingga utara, termasuk kota terbesar Roma dan Milan, saya berkesempatan mengunjungi Napoli akhir April 2022 lalu. Cuaca musim semi sangat indah.
Kota ketiga terbesar Italia ini berasal dari bahasa Yunani  Na Plis ("Kota Baru"). Memang, kota ini didirikan oleh bangsa Yunani pada sekitar tahun 1000 hingga 1 sebelum Masehi.
Walaupun saat itu Jakarta, atau bahkan Indonesia belum lahir, teman Italia saya berujar bahwa kota Napoli saat ini mengingatkannya pada kota Jakarta, tempat saya tinggal.
Awalnya, saya sangsi bagaimana kota di negara maju seperti Italia bisa seperti Jakarta. Apalagi sejarah Napoli jauh lebih tua dan kaya, karena lahir  dua ribu tahun setelah Jakarta, yang secara resmi lahir tahun 1527.
Benarkah? Akan saya bahas 5 argumen di catatan perjalanan ini.Â
Perjalanan ke Napoli dari Roma membutuhkan waktu sekitar 2 jam dengan kereta, harga tiketnya sekitar 12 Euro (Rp. 182.292,00, 1 euro = sekitar 15 ribu rupiah). Terbilang murah dibandingkan harga di negara Eropa Barat lain, apalagi Jerman.
Begitu sampai di Napoli jam 8 pagi, kami langsung membeli day-ticket atau tiket yang bisa digunakan seharian dengan moda transportasi kota apapun (metro atau kereta bawah tanah, bus, tram).
Harganya hanya 3 Euro, mengejutkan karena di kota-kota besar di Jerman, harganya biasanya sekitar 7 euro.
Di stasiun utama tempat kami turun kereta regional, pembelian tiket dapat dilakukan di kios tiket atau kios koran di jalanan. Tidak mau buang waktu, kami bergegas ke bawah menuju stasiun metro.
Walaupun metro penuh orang yang ingin berangkat bekerja, metro berbau harum semerbak. Tampaknya benar bahwa orang Italia sangat mementingkan penampilan; tidak hanya modis, mereka juga harus wangi.
Tidak kami sangka, ada kejutan lain terkait transportasi hari itu. Ketika baru jalan 2 stasiun atau tak sampai sekitar 5 menit, metro tiba-tiba berhenti.
Petugas mengumumkan dari pengeras suara bahwa mereka tidak dapat memastikan kapan metro akan berjalan kembali.
Belakangan, ketika sore hari hendak kembali ke stasiun utama dengan metro, Line 1 yang ingin kami naiki kembali ini pun belum juga beroperasi.
Selama hampir 4 tahun saya hidup di Eropa, belum pernah saya mengalami metro berhenti beroperasi tanpa alasan yang jelas, kecuali cuaca atau pemogokan karyawan (strike). Teman Italia saya pun cukup kaget dengan hal ini.
 Kamipun memutuskan untuk turun dan berjalan kaki, karena toh pusat kota tidak jauh lagi. Menyusuri jalanan, terutama gang-gang kecil, kembali saya terkaget-kaget dengan pemandangan jalanan.
Motor-motor dikendarai tanpa helm, dan tanpa plat nomor pula! Di Jerman, saya terbiasa melihat pengendara motor (dan bahkan juga sepeda) berpakaian lengkap dari helm hingga sepatu.Â
Bahkan, sandal jepit pun tidak mereka pakai saat berkendara. Mungkin, Napoli hanya satu-satunya kota di Eropa Barat yang masih "selow" dengan pelanggaran ini.
Sambil berjalan-jalan, tak lupa kami mencicipi jajanan ala Napoli. Banyak makanan enak khas Napoli, seperti yang mungkin kita kenal: Pizza dan Es Krim Neapolitan, yang katanya lahir di kota ini.
Beberapa jajanan lain adalah kroket kentang seperti di indonesia, Arancini atau nasi dengan isian keju yang digoreng, juga Frittatine atau pasta makaroni yang juga digoreng. Ada juga gorengan seafood yang dimasukkan ke kertas berbentuk kerucut yang disebut "Il Cuoppo"Â
pizza yang digoreng atau Pizza Fritta seharga 4 euro saja.
Bahkan, ada jugaMakan gorengan saat jalan-jalan, lagi-lagi mengingatkan saya pada kota Jakarta.
Napoli terkenal dengan gang-gang tempat warga Napoli tinggal, yang berwarna warni dan penuh dengan hiasan. Daerah Spaccanapoli penuh dengan arsitektur kuno campuran gaya Yunani dan Italia.
Salah satu objek terkenal diantara gang tersebut adalah altar Maradona. Pesepakbola ini membela klub Napoli selama tujuh tahun pada 1984-1991. Kala itu, ia mencetak 81 gol dari 188 pertandingan, tak heran jika warga Napoli begitu memujanya.
Tingkat fanatisme ini mungkin seperti para fans Persija menggemari Bambang Pamungkas, walaupun tidak ada altar BP di Jakarta.
Menyusuri gang-gang tersebut, mau tak mau pasti terkesan agak kotor dan berantakan, apalagi dengan jemuran warga di beberapa bagian rumah susun.
Namun, beberapa graffiti terlihat cantik dan mewarnai kota ini.
Kota-kota di bagian selatan Italia  terkenal tidak semakmur kota-kota di Utara. Napoli pun memiliki tingkat pengangguran yang cukup tinggi.
Saya pikir, mungkin benar teori bahwa tempat dengan iklim yang lebih enak, seperti iklim Mediteranian yang cukup hangat di Itali Selatan, tidak semaju kota-kota yang lebih dingin atau lebih jauh dari garis khatulistiwa.
Kota ini juga sayangnya terkenal dengan tingkat kriminalitas pada turis yang cukup tinggi. Maka, harus benar-benar berhati-hati dengan barang bawaan.
Oleh orang Italia, saya dinasehati lebih baik membawa tas ransel daripada tas wanita yang mudah ditarik oleh pencopet dari atas sepeda motor.Â
Saya tersenyum sinis, di Jakarta pun, saya pernah mengalai tas ransel saya dibuka atau disilet oleh pencopet, bahkan saat saya masih berseragam abu-abu atau jadi siswi SMA kere!
Beberapa tahun lalu juga terdapat kasus mafia sampah, yaitu mafia yang membuat sampah-sampah menumpuk di jalan dan tidak dibersihkan sehingga seluruh kota menjadi bau. Mengingatkan saya pada para preman di Jakarta.
Kami menutup perjalanan dengan berjalan di sebajang teluk Napoli (Gulf of Napoli). Indahnya gunung Vesuvius, dapat terlihat dibalik kapal-kapal, lautan, dan bangunan tua.
Tak dinyana, gunung ini dengan kejam mengubur hidup-hidup warga Pompeii dan Herculaneum pada tahun 79 sebelum Masehi.
Ah, warga Napoli yang mempertaruhkan nyawa setiap harinya dibalik bayang-bayang ledakan Gunung Vesuvius pun tak beda jauh dengan warga Jakarta yang menunggu tenggelamnya Jakarta, bukan?
Begitulah pengamatan saya di kota Napoli. Dalam lima hal: traffic atau lalu lintas, makanan gorengan, fanatisme warga pada sepak bola, keamanan, dan bencana, sekilas memang tidak beda jauh dari Jakarta. Bisa dibilang Napoli is the closest Italy could be to Jakarta, setuju?
Namun, kekayaan sejarah dan keramahan penduduknya, sama seperti kota Jakarta, pun menarik jutaan wisatawan setiap tahunnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H