Seperti yang kita ketahui, media sosial saat ini sudah menjadi rutinitas hampir seluruh penduduk Indonesia. Jika tidak melihat media sosial minimal sekali dalam sehari saja rasanya seperti ada yang kurang, sehingga penyebaran berita di media sosial termasuk sangat cepat dan merata di berbagai daerah. Terutama pada kota-kota besar yang mayoritas penduduknya adalah generasi muda yang paham dan mengikuti perkembangan teknologi. Berbagai kejadian akan cepat tersiar, berbagai hal baru akan cepat menjadi trend, dan berbagai berita akan sangat mudah diakses serta dikomentari.
Belaku pula dengan trend "pilkada core" beberapa waktu silam yang menghebohkan dunia maya, dalam video yang beredar menampilkan beberapa paslon kepala daerah dari berbagai daerah Indonesia sedang menyampaikan visi misi dalam debat antar paslon kepala daerah. Dalam video tersebut berisi cuplikan dari berbagai paslon kepala daerah yang dimana kebanyakan dari mereka kurang dapat menjawab pertanyaan yang diberikan, bahkan terbata-bata dan salah dalam penyampaian visi misinya, serta netizen juga menang.
Jika dikilas balik, peristiwa ini bermula dari calon bupati Nganjuk yang menjawab pertanyaan dengan keinginannya memberikan inovasi bagi Nganjuk melalui padi menjadi beras brambang (bawang merah) menjadi brambang (bawang merah) goreng. Padahal dua hal tersebut sangat jelas bahwasannya sejak awal pun sudah ada, sehingga jawaban tersebut tidak dapat dikatakan sebagai inovasi. Adapaun pada debat pilkada Bojonegoro, dimana seharusnya saat itu yang memberikan jawaban adalah calon wakil bupati namun calon bupati nomor urut satu naik ke atas panggung dan menjawab pertanyaan tersebut hingga terjadi ricuh dikarenakan pembawa acara yang sudah berusaha menghentikan tetapi tidak digubris sama sekali oleh paslon Bojonegoro nomor urut satu tersebut. Tidak sampai disana saja, ada juga dari cawabup Lamongan yang salah menyebutkan generasi dari cabupnya, dimana ia mengatakan bahwa generasi cabup tersebut adalah generasi kolonial. Padahal seperti yang kita ketahui kolonial merupakan kata lain yang merepresentasikan penjajahan dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan suatu generasi. Masih banyak cuplikan lain yang marak dan dijadikan "pilkada core", dimana saat ini sedang berseliweran di tiktok, instagram dan x.
Dari sini, netizen berspekulasi bahwasannya kualitas para paslon dinilai kurang berkompeten apabila nantinya menjadi panutan di suatu daerah. Jika pemimpinnya saja seperti demikian, bagaimana kualitas daerah tersebut. Padahal seorang pemimpin merupakan citra dari suatu daerah yang dipimpinnya. Sehingga fenomena ini memunculkan berbagai hate comment yang memenuhi setiap kolom komentar para calon kepala daerah masing-masing, dimana media sosial seharusnya dapat menjadi personal branding dan ajang berkampanye tapi sayangnya dipenuhi oleh hate comment.
Adapun di berbagai daerah juga terdapat paslon yang tidak memiliki saingan, sehingga mereka bersaing dengan kotak kosong. Fenomena ini sebetulnya sudah sering terjadi sebelumnya, namun dari fenomena ini jugalah kebanyakan masyarakat memilih untuk tidak ikut memilih atau datang hanya untuk merusak kertas suara dikarenakan tidak setuju dengan paslon yang mengajukan diri tersebut.
Sehingga dapat dikatakan bahwasannya angka partisipan pilkada 2024 di beberapa daerah masih dinilai sangat kurang dari target yang ingin dicapai. Terutama pada kota-kota besar, layaknya Jakarta yang banyak diantara mereka memilih untuk golput dibandingkan harus dipimpin dengan orang yang tidak berkompeten. Salah satu alasan angka golput meninggi di beberapa daerah kota besar dikarenakan mereka adalah kaum terpelajar yang dapat menilai seberapa kompeten paslon untuk memimpin daerah mereka.
Sebenarnya apa sih golput itu? Golput sendiri merupakan akronim dari golongan putih yang memiliki arti politik bahwa ketika terjadi pemungutan suara peserta tidak mengikuti atau memberikan hak pilihnya untuk memilih calon, atau terkadang peserta datang namun hanya untuk merusak kertas suara sehingga hak pilihnya terpakai namun tidak terhitung dalam perolehan suara paslon itu sendiri.
Adapun akibat apabila kebiasaan golput ini diterus-teruskan, maka akan memengaruhi jalannya pemerintahan. Dimana suatu pemerintahan merasa kurang dipercayai oleh masyarakat dan berakibat pada ketidakoptimalan program kerja yang diusung. Selain itu, semakin banyak generasi muda yang memilih golput maka semakin banyak pula generasi muda yang tidak paham perpolitikan negeri sendiri. Lantas bagaimana generasi muda dapat memiliki rasa demokrasi nantinya. Maka ada baiknya kita sebagai generasi muda semangat untuk ikut melantangkan suara agar negeri ini dapat menguatkan demokrasi dan menjalankan pemerintahan sebaik mungkin karena kitalah yang memegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H