Mohon tunggu...
Fransisca Dewi Eva Chatalina
Fransisca Dewi Eva Chatalina Mohon Tunggu... Sekretaris - Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Hukum Keluarga Islam

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Perdata Islam di Indonesia

29 Maret 2023   21:32 Diperbarui: 29 Maret 2023   21:57 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A. Pengertian Hukum Perdata Islam Di Indonesia 

Hukum perdata Islam Di Indonesia terdiri dari kata hukum, perdata, dan Indonesia. Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Dalam hukum perdata islam di Indonesia banyak mengatur tentang perkawinan, perceraian, kewarisan, pinjam meminjam, jual beli, sewa-menyewa, kerjasama dan masih banyak lagi. Masing-masing dari banyak hal diatas diatur secara rinci dalam hukum perdata islam. Mulai dari perkawinan, yang mana mengatur tentang tata cara mulai dari proses perkawinan hingga sampai pada pembagian warisan.

Hukum perdata islam di Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku di Indonesia yang bersumber dari Al-Qur'an, hadis, ijma' dan sumber lain yang sudah mengalami peresmian sehingga menjadi hukum positif di Indonesia. Misalnya adalah Kompilasi Hukum Islam yang mana mengatur tentang perkawinan. Kompilasi Hukum Islam berasal dari pengadopsian hukum islam yang sebagain besar berasal dari Madzab Syafi'i.

Hukum perdata islam tidak sama dengan syariah atau fikih. Karena didalamnya terdapat juga fatwa atau keputusan pengadilan dan juga undang-undang yang menjadi komponen terwujudnya hukum perdata islam. Bisa dikatakan unik karena tidak semua negara memiliki hukum perdata islam. Indonesia merupakan negara yang sebagaian besar penduduknya beragama islam. Maka tidak heran jika Indonesia memiliki hukum perdata islam yang sangat dibutuhkan oleh orang islam.

B. Prinsip Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam 

Prinsip perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut:

  • Agama menentukan syahnya perkawinan. Dalam suatu pernikahan diperlukan pencatatan nikah, yang mana jika beragama islam dilakukan di KUA dan jika beragama non islam di Kantor Catatan Sipil. Maka penting sekali persamaan agama agar keturunan dan pencatatan bisa dilakukan dengan baik sesuai dengan agamanya. Kesamaan agama juga mempengaruhi kesamaan dalam pandangan.
  • Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan rasa saling memahami dan saling mengerti antara satu dengan yang lainnya. Saling melengkapi antara kekurangan masing-masing agar semuanya dapat terlihat sempurna. Karena pasangan yang baik bukanlah pasangan yang sempurna, namun yang bisa menyempurnakan.
  • Monogami terbuka. Dalam hal ini diperbolehkan untuk beristri lebih dari satu. Namun juga harus mempertimbangkan sebab akibatnya jika beristri lebih dari satu.
  • Calon suami isteri harus matang jiwa raga. Kematangan jiwa akan mempengaruhi kematangan dalam berpikir. Sehingga jika terjadi konflik dalam rumah tangga tidak akan berujung pada perceraian.
  • Mempersukar perceraian. Perceraian dipersulit dikarenakan untuk meminimalisasi tingkat perceraian. Sehingga tujuan dari perkawinan yaitu mewujudkan rumah tangga yang kekal dan bahagia bisa terwujud.
  • Hak dan kewajiban suami isteri seimbang. Tidak ada perbedaan peran antara suami dan istri. Semuanya bisa dilakukan dengan bersama-sama baik dalam lingkup keluarga maupun dalam lingkup masyarakat. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah.

Sedangkan prinsip perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah : 

  • Perkawinan berdasar dan untuk menegakkan hukum Allah. Perkawinan meruapakan salah satu sunah rosul yang mana bernilai ibadah. Maka jika dilakukan berarti menegakkan hukum Allah dan melaksanakan perintah Allah dengan istilah lain perkawinan adalah ibadah seumur hidup sekali.
  • Ikatan perkawinan adalah untuk selamanya. Untuk mewujudkan prinsip ini maka dibutuhkan rasa saling mengenal antara satu sama lain agar lebih mendalami karakter masing-masing. Maka dari itu perkawinan bukan suatu hal yang mudah yang hanya berlangsung sebentar. Kecocokan adalah kunci utama dalam perkawinan sehingga mewujudkan perkawinan satu untuk selamanya.
  • Suami sebagai kepala rumah tangga, isteri sebagai ibu rumah tangga, masing masing bertanggung jawab. Ketika terjadi perkawinan, maka akan mendapatkan tanggung jawab baru. Yang mana istri akan lebih banyak untuk mengurus rumah tangga dan suami akan bekerja. Namun bukan berarti ini adalah sebuah kewajiban yang kaku. Ada saatnya pembagian peran itu berlaku, karena wanita dikodratkan memiliki perasaan yang lebih besar, maka penting sekali jika wanita atau istri untuk menjadi ibu rumah tangga dan mendidik anak.
  • Monogami sebagai prinsip, poligami sebagai pengecualian. Monogami adalah suami yang memiliki satu istri. Ini menjadi prinsip dalam suatu perkawinan karena akan lebih harmonis jika memiliki satu istri. Sedangkan poligami adalah suami yang memiliki istri lebih dari satu, namun dengan syarat tertentu dan dengan jumlah yang tidak boleh lebih dari empat.

C.  Pentingnya Pencatatan Perkawinan Menurut Sudut Pandang Sosiologis, Religius, dan Yuridis

Pencatatan perkawinan menurut sudut pandang sosiologis adalah pencatatan perkawinan memberikan efek maslahat terhadap masyarakat dan juga negara. Dalam masyarakat, perkawinan yang dicatatkan adalah perkawinan yang akan diumumkan kepada masyarakat sehingga banyak masyarakat yang mengetahui, berbeda dengan perkawinan siri. 

Pencatatan perkawinan memberikan manfaat secara sosiologis tehadap istri dana anak. Sehingga hak-hak dari istri dan anak dapat terlindungi. Pencatatan perkawinan memberikan hak nafkah, waris, harta gono-gini bagi istri. Sedangkan bagi anak akan mendapatkan hak perwalian dan status anak menjadi lebih jelas karena telah diakui oleh negara.

Pencatatan perkawinan menurut sudut pandang religius itu sah dan harus dilakukan. Memang dalam agama islam tidak ada perintah untuk melakukan suatu pencatatan perkawinan. Perkawinan tetap sah tanpa adanya pencatatan oleh pihak terkait. Pencatatan perkawinan merupakan hasil ijtihad yang membawa pada kebaikan. Yang bertujuan untuk melindungi hak-hak wanita. Yang mana dalam agama islam wanita itu sangat dimuliakan keberadaannya dan sangat dihormati. Agar perniakhan dapat diakui secara agama dan juga secara negara. Pernikahan sah menurut agama tidak akan bisa dipertanggung jawabkan didepan hukum yang berlaku.

Pencatatan perkawinan menurut sudut pandang yuridis adalah pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh negara bertujuan untuk melaksanakan suatu kewajiban masyarakat sebagai negara hukum. Sehingga suatu perkawinan memiliki kepastian dan kekuatan hukum yang jika dikemudian hari terdapat permasalahan maka dapat dipertanggung jawabkan dihadapan hukum dengan berbagai tuntutan. Pencatatan perkawinan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2). Jika perkawinan tidak dicatatkan, maka perkawinan dianggap tidak pernah ada. 

D.  Perkawinan Wanita Hamil Menurut Ulama dan KHI

Menurut ulama madzab Hambali, perkawinan wanita hamil hukumnya tidak sah. Karena telah melakukan zina, sehingga menunggu hingga wanita tersebut melahirkan dan bertaubat. Setelah itu diperbolehkan untuk melaksanakan perkawinan. 

Menurut ulama madzab Syafi'i perkawinan wanita hamil hukumnya sah, baik dengan laki-laki yang menghamilinya maupun dengan laki-laki yang tidak menghamilinya. Menurut madzab Maliki perkawinan wanita hamil hukumnya adalah sah jika dengan laki-laki yang menghamilinya namun harus bertaubat terlebih dahulu. Sedangkan menurut Madzab Hanafi perkawinan wanita hamil tetap sah baik dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun tidak. 

Namun dengan syarat tidak boleh dikumpuli sampai dengan wanita tersebut melahirkan anaknya. Jika dinikahi oleh orang yang tidak mengamilinya maka boleh dikumpuli sesudah melahirkan dan masa suci serta masa haidnya, selain itu juga telah selesai masa tunggunya bagi wanita setelah hamil (istibro).

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam, perkawinan wanita hamil hukumnya adalah sah. Menurut pasal 53 KHI ayat 1,2, dan 3 perkawinan tersebut tetap dihukumi sah namun harus dengan laki-laki yang telah menghamilinya. 

Hal tersebut dilakukan demi kemaslahatan, agar anak tersebut dapat dinasabkan kepada ayahnya. Namun ada yang berpendapat, jika perkawinan dilakukan ketika anak yang berada di dalam kandungan tersebut sudah berusia lebih dari 3 bulan, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya. Karena bayi tersebut sudah dalam keadaan bernyawa didalam kandungan yang berusia lebih dari 3 bulan. Dengan mempertimbangan konsep maslahat untuk menutupi aib keluarga dan juga pertanggung jawaban dari laki-laki, maka KHI memperbolehkan untuk melakukan perkawinan wanita hamil.

E.  Pencegahan Perceraian

Perceraian merupakan sesuatu yang boleh dilakukan, namun jangan sampai dilakukan. Tidak ada larangan perceraian dalam agama, namun sebisa mungkin untuk dihindari karena akan menyebabkan kemudharatan terutama terhadap anak hasil dari perkawainannya. Sebuah perceraian akan banyak berpengaruh pada tumbuh dan perkembangan anak. Maka dari itu perlunya berbagai upaya untuk menghindari adanya perceraian. Kesiapan sebelum pernikahan juga berpengaruh terhadap potensi perceraian.

Menjaga komunikasi yang baik dengan pasangan adalah salah satu cara agar terhindar dari perceraian. Komunikasi merupakan salah satu kunci dari langgengnya suatu hubungan. Karena semua permasalahan yang ada dapat diselesaikan dengan cara yang baik-baik yaitu komunikasi bukan dengan cara perceraian. Perceraian bukan menyelesaikan masalah, namun justru menambah masalah baru.

Cara yang kedua adalah menghindari sikap egois. Suami istri haru memiliki sikap toleran. Ada saatnya suami harus mengalah dan ada saatnya istri yang harus mengalah. Jangan sampai keduanya sama-sama keras, karena ini akan menyebabkan perceraian. Ibarat salah satu jadi api, maka yang satunya harus bisa jadi air untuk memadamkan api tersebut.

Cara yang ketiga adalah memperbaiki kesalahan dengan jujur dan tulus. Tidak ada pasangan yang sempurna. Semuanya pasti pernah melakukan kesalahan. Maka dari itu perlu sekali adanya pengakuan kesalahan dan niat untuk memperbaiki diri. Karena tidak ada pasangan yang luput dari kesalahan dan sempurna seutuhnya, namun perlu ada salah untuk menjadi pembelajaran untuk lebih baik kedepannya.

Cara yang keempat adalah menghindari tindak kekerasan. Sebesar apapun emosi dalam rumah tangga, jangan sampai terjadi kekerasan. Harus memiliki pengendalian diri yang baik antara masing-masing pihak. Itulah mengapa perkawinan itu tidak cukup hanya dengan siap secara materi, namun juga harus siap secara mental. Cara berpikir yang luas sangatlah dibutuhkan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Penting sekali berpikir lebih panjang sebelum melakukan suatu perbuatan. 

F.  Review Book

Judul buku yang saya baca adalah Kewarisan Perempuan Di Negara Muslim Modern: Pergeseran, Adaptabilitas, dan Tipologi. Buku ini adalah karya dari Bapak Dr. Sidig, AG. Beliau adalah Wakil Dekan II Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta. Dari buku tersebut saya dapat mengambil kesimpulan bahwa pembagian kewarisan perempuan di negara muslim modern itu contohnya adalah di Arab, Indonesia, dan juga Somalia. Ketiga negara memiliki perbedaan yang sangat berbeda.

Di Arab, sistem pembagian warisnya masih menganut fiqih klasik (Hanabillah). Arab merupakan negara yang kaku yang mana tidak mau membuka diri terhadap perkembangan zaman. Mau tidak mau Arab harus mengikuti konsep pembagian waris dalam kitab Hanabillah. Dasarnya adalah terdapat dalam surah An-Nisa' ayat 7,11,12, dan 176.

Sedangkan Indonesia merupakan negara yang moderat. Negara Indonesia menggunakan Madzab Syafi'i dengan tetap mengikuti perkembangan zaman dan tidak meninggalkan patokannya. Dalam hal ini pembagiann warisan perempuan dapat dilakukan dengan cara musyawarah keluarga sesuai dengan tanggung jawab masing-masing yang diberikan berbanding lurus dengan hak dan kewajibannya.

Lain halnya dengan negara Somalia, yang mana negara ini memiliki sifat terbuka yang sangat terbuka terhadap perkembangan zaman. Negara ini sangat bebas tanpa adanya batasan lagi. Negara ini dahulunya menggunakan Madzab Syafi'i yang kemudian dimodifikasi dengan cara sangat liberal. Sehingga bisa jauh dari patokan aslinya.

Inspirasi yang didapat dari membaca buku ini adalah perempuan bukanlah wanita yang lemah seperti sejarah zaman dahulu yang bahkan keberadaannya pun dianggap tidak ada. Perempuan sudah memiliki ruang publik untuk dapat bergerak tanpa batas dan juga kekangan dari pihak laki-laki. Perempuan juga bisa memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Dengan dalih tersebut kemudian perempuan juga berhak mendapatkan kewarisan sebagaimana sama besarnya dengan laki-laki.

Nama               : Fransisca Dewi Eva Chatalina

NIM                  : 212121013

Kelas                : 4A Hukum Keluarga Islam

Mata Kuliah  : Hukum Perdata Islam Di Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun