Penyebaran islam diikuti dengan maraknya banyaknya praktik keagamaan berbasis islam dalam masyarakat, seperti dalam bidang perkawinan misalnya setiap wanita yang akan melangsungkan pernikahan harus memeluk agama islam terlebih dahulu baru melaksanakan akad perkawinannya dengan ketentuan syariat islam. Selain praktik islam dalam masyarakat, tawaran untuk menjadikan islam sebagai dasar negara juga dipengaruhi oleh adanya perjuangan tokoh-tokoh muslim seperti Cut Nyak Dien di Aceh, Imam Bonjol di Padang, Pangeran Diponegoro di Jawa, Sultan Hasanuddin di Makassar, dan lain sebagainya.
Setelah melalui proses persidangan yang panjang, akhirnya mencapai kesepakatan yang menjadi jalan keluar antara dua kubu yang memiliki pandangan yang berbeda, kesepakatan itu melahirkan apa yang dikenal dengan "Piagam Jakarta". Perwakilan islam bisa menerima karena pada sila pertama tertulis "...dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya". Namun kata ini tidak berumur panjang.
Pada masa setelah kemerdekaan, upaya menjadikan islam sebagai dasar negara, atau setidaknya upaya memasukkan islam dalam institusi negara masih terus dilakukan. Misalnya dengan mengadakan prayaan hari besar islam di istana negara dan membangn masjid Istiqlal sebagai simbol kenegaraan. Hingga akhirnya kalangan pada masa orde baru kalangan nasionalis islam terkalahkan dan membentuk partai-partai islam.
Emansipasi wanita sebelum kemerdekaan ditandai dengan lahirnya R.A Kartini yang mana beliau ini adalah sebagai simbol munculnya kesadaran baru bagi gerakan perempuan. Putri dari bupati Jepara yang memiliki pengalaman tentang ketidakadilan gender dalam sebuah keluarga sebagai dampak dari budaya patriarkis dan kesempatan pendidikan yang diperolehnya dari pemerintah Belanda. Sehingga membuatnya tergerak untuk peduli terhadap nasib sesamanya.
Kartini menyuarakan pentingnya peran pendidikan bagi wanita yang bertujuan untuk membangkitkan wanita dari ketertinggalan dan sejajar dengan kaum adam. Ini dikenal sebagau awal munculnya emansipasi wanita. Setelah hal ini meluas, muncullah beberapa organisasi perempuan di tanah iar ini yang pertama muncul adalah Poetri Mardika. Aisyiyah (Muhammadiyah), Muslimat (NU), Persistri (Persis), dan lain sebagainya.
Pasca masa orde baru, perjuangan perempuan mulai menuaikan hasil. Seperti, pada tahun 1974 pemerintah mengundangkan UU No. 1/1974 yang mengatur tentang perkawinan. Dimana dalam hal ini mengatur tentang larangan poligami atau dalam aturan ini mempersempit peluang untuk melakukan poligami. Selain itu juga pada masa itu dibentuklah kementerian urusan peranan wanita yang memberikan peluang wanita untuk ikut andil dalam pembangunan.
Kebijakan hukum keluarga di Indonesia modern mulai muncul sejak masa kerajaan islam di nusantara. Contohnya adalah aturan tentang perkawinan, perceraian dan juga waris. Namun, karena Belanda khawatir akan aturan ini, sehingga Belanda membuat berbagai aturan yang bertujuan untuk mengecilkan posisi pemberlakuan hukum islam dan isntansi peradilan peradilan agama dengan cara menerapkan hukum adat untuk pribumi yang beragama islam, hukum ordonasi untuk pribumi kristiani, perdata untuk orang Timur Asing Tengah, adat untuk keturunan Timur Asing, dan BW untuk keturunan Eropa.
Pada tahun 1954 disusunlah UU tentang perkawinan yang dikhususkan untuk umat islam yang berasaskan poligami. Menurut Hamka, poligami itu boleh, namun lebih baik jika beristri satu saja. Untuk menghindari diri dari perbuatan tidak adil. Poligami itu boleh, namun harus disertai dengan syarat yang menguatkan. Seperti bisa berbuat adil, dapat memberi nafkah dan juga tempat tinggal yang layak, istri mandul atau tidak dapat melayani suami, dan juga adanya persetujuan antara keduanya.
Menurut Moenawar Chalil, poligami adalah tradisi pra islam yang mana tradisi ini bisa kemuliaan dan meningkatkan perbendaharaan harta. Poligami inilah yang harus dihapuskan karena sama dengan penghinaan terhadap kaum wanita. Di Indonesia justru poligami seperti inilah yang terus berkembang.
Tahun 1974 disahkanlah Undang-Undang tentang perkawinan. Yang dalam praktiknya di Pengadilan Agama hakim masih banyak merujuk pada kitab-kitab fiqih dalam menyelesaikan perkara. Sehingga sering ditemukan perbedaan dengan pengadilan yang lain pada kasus yang sama. Maka dari itu muncullah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diharapkan dapat mengatasi perbedaan putusan hakim di Pengadilan Agama.
Namun demikian, KHI ini masih mengandung kecenderungan patriarki dan meminggirkan perempuan. Sehingga pada taun 2004 ada gagasan untuk mengajukan draft hukum tandingan terhadap KHI tentang larangan poligami, hak waris yang seimbang, sahnya perkawinan beda agama dan sebagainya yang mana ini dinilai masih sensitif terhadap gender.