Mohon tunggu...
Frans Hendra Winarta
Frans Hendra Winarta Mohon Tunggu... wiraswasta -

Seorang biasa yang ingin berkontribusi luar biasa untuk bangsa. http://senimanhidup.com/

Selanjutnya

Tutup

Money

Buyback Indonesia

11 Agustus 2013   07:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:27 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau kita tilik kembali sejarah ekonomi Indonesia, di masa pergerakan kemerdekaan banyak sekali ide brilliant dari pemikir bangsa ini. Ide ekonomi kerakyatan yang diejawantahkan dalam system sosialis, Negara pemilik kekayaan alam, hingga sektor swasta yang digerakkan dalam bentuk koperasi, serta gerakan-gerakan umat baik dalam gerakan keagaamaan maupun lembaga swadaya masyarakat. Pemikiran ekonomi pun berkembang seiring dengan pemimpin utama Negara (presiden republic ini). Seni dalam politik ekonomi berbeda-beda pada masing-masing era pemimpin. Pada era Presiden Soekarno era dimana nasionalisme berkembang sebagai akibat dari kolonialisme, semangat juang berkobar hingga ke sendi-sendi ekonomi, idealism dimana segala kekayaan alam yang ada di republic ini merupakan milik Indonesia. Satu kalimat pedas dari Soekarno bagi asing yang ingin mengolah kekayaan alam Indonesia, “Go to hell from Indonesia!”

Seiring dengan perkembangan ilmu, politik ekonomi sebagai salah satu cara mencari jalan keluar dari permasalahan ekonomi pun berubah. Berbeda dengan Soekarno, penilaian tim Begawan ekonomi Soeharto lebih moderat. Nilai-nilai ekstrem kiri sosialis pun perlahan-lahan bergeser. Investasi dianggap sebagai penggerak ekonomi. Liberalisasi dianggap sebagai pemompa pertumbuhan dengan akselerasi yang lebih cepat. “Mafia Berkeley” begitulah sebutan bagi punggawa ekonomi di masa orde baru.

Era orde baru dikatakan sukses dengan pembangunan ekonominya. Tidak dapat kita pungkiri, diluar kejelekan Soeharto, beliau telah meletakkan batu pertama Indonesia dengan sebutan “tinggal landas”. Sayang saja, ketika ingin tinggal landas tersebut, balon perekonomian pecah, meninggalkan luka dalam, krisis multidimensi. Setelah sekian lamanya pemikiran liberalism mengakar di Indonesia, system tersebut sulit untuk berubah. Hal ini juga didorong oleh factor eksternal keluarnya Amerika sebagai Negara super power termasuk dalam hal ekonomi dimana liberalism menjadi dewa yang diagung-agungkan.

Sebagai akibat dari peninggalan sejarah tersebut, saat ini kita dihadapkan dalam perlawanan ekonomi (baca: neokolonialisme). Penjajahan tidak lagi melalui ekspansi militer dengan kekerasan (violent) melainkan melalui kepemilikan terhadap sendi-sendi ekonomi. Aturan liberalisasi ekonomi seperti menyerahkan kehormatan seorang wanita. Siapapun yang membayar, silakan menikmati kekayaan Indonesia. Hmm, legit sekali. Tidak tanggung-tanggung, kekayaan pun dikuliti dengan nafsu yang buas demi pertumbuhan ekonomi di Negara asalnya.

Hal yang terjadi saat ini adalah kita menjadi penonton di negeri sendiri. Orang asing melihat Negara kita sebagai lumbung padi dan tambang emas, tidak segan-segan mereka berinvestasi disini. Dengan kemudahan akses perizinan, anda bayar, kami izinkan. Mengapa stigma yang ada begitu sempit? Mengais-ngais investasi asing demi sekedar kata politis “membuka lapangan pekerjaan baru”. Mengapa bukan kita saja yang berinvestasi? Kita itu tidak punya uang. Tidak punya keahlian. Blablablablablabla… Selalu saja demikian. Hal itu pun turun dalam kacamata mikro, dimana masyarakat Indonesia memandang ragu terhadap entrepreneurship skala besar. Padahal yang dibutuhkan dalam sebuah usaha bukanlah modal sebagai bahan bakar utama. Jika Anda mau menjalankan usaha misalnya, cukup dengan mematangkan studi dan memiliki ahli. Itulah hal utama. Modal hanya sebagai turunan. Dalam satu pepatah, ada gula, ada semut. Pasti ada saja yang dating menghampiri untuk membantu khususnya dalam hal finansial. Yang dibutuhkan adalah keberanian dan perencanaan yang matang.

Mari kita ambil hikmah dari system kapitalisme. Pada dasarnya tidak ada orang super kaya, yang hanya berawal dari usahanya pribadi. Di dalam usahanya pasti melibatkan banyak pihak. Benang merahnya adalah banyak pihak tersebut bersatu dalam satu visi yang sama, bahu-membahu untuk membangun (bisnis) bersama tersebut. Dalam prinsip kapitalisme, persatuan diartikan dalam penghimpunan modal dalam skala besar untuk tujuan suatu investasi bisnis. Ada pelajaran bagus dari sini. Persatuan. Jika rakyat Indonesia semesta bersatu dalam menghimpun dana, maka solusi-solusi kebutuhan modal pemerintah dapat diselesaikan. Penulis sendiri mengapresiasi konsep ekonomi dari tim Ust Yusuf Mansur melalui satu skemanya tentang shodaqoh produktif. Dimana dana umat dihimpun menjadi satu dan kemudian disalurkan untuk membeli bisnis. Dengan membeli bisnis, maka efek multiplier ekonomi akan lebih besar daripada sekedar penyaluran dana langsung kepada rakyat yang sifatnya konsumtif. Memang harus ada penjaga pos (orang yang mengisi bagian) dari pengelolaan dana umat untuk hal produkif.

Hambatan dari konsep persatuan himpunan dana rakyat/umat tersebut sangat besar. Banyak penentang-penentang ide-ide brilliant anak bangsa tersebut hanya untuk menghambat revolusi ekonomi Indonesia. Banyak yang tidak suka, takut tersaingi, dan kehilangan ‘bagiannya’. Jangankan membawa nama Islam, membawa nama nasionalisme pun banyak penentang. Banyak yang tidak sudi, kita menjadi bangsa yang mandiri. Dengan kemajuan teknologi dan informasi saat ini, rakyat Indonesia harus dapat membuka mata lebih lebar. Sadar siapa kawan, siapa lawan. Sayangnya kita telah besar dengan prinsip-prinsip individualistis sebagai akibat dari tolok ukur kekayaan individu. Terpecah bagai anak ayam kehilangan induk. Sayangnya sang induk berselingkuh dengan induk lainnya. Lecutan bagi pemerintah sebagai otoritas yang mampu membawa masyarakat Indonesia menjadi pemenang di negerinya sendiri ini. Buyback Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun