Mohon tunggu...
Frans Dione
Frans Dione Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Konsultan dan Pembicara

Pengajar dan Pembelajar Pemerintahan. Pengurus Pusat MIPI (Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menunggu Kenegarawan Para Gubernur

23 September 2018   10:54 Diperbarui: 23 September 2018   11:34 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.pikiran-rakyat.com

Dalam hiruk-pikuk dukung mendukung calon presiden, beberapa Gubernur yang baru saja dilantik pada tanggal 5 September 2018 secara terang-terangan dan terbuka menyatakan dukungannya kepada pasangan capres. 

Dari 9 Gubernur yang dilantik, 8 Gubernur menyatakan dukungannya kepada pasangan capres Jokowi-Makruf, yaitu Ridwan Kamil Gubernur Jawa Barat, Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah, Viktor Laiskodat Gubernur Nusa Tenggara Timur, Nurdin Abdullah Gubernur Sulawesi Selatan,  I Wayan Koster Gubernur Bali, Ali Mazi Gubernur Sulawesi Tenggara, Sutarmidji Gubernur Kalimantan Barat dan Lukas Enembe Gubernur Papua. 

Hanya 1 Gubernur yang menyatakan dukungannya kepada pasangan capres Prabowo-Sandiaga Uno yakni Edy Rahmayadi Gubernur Sumatera Utara. Untuk siapa Gubernur dipilih? Gubernur baru terpilih seharusnya mulai berpikir dan bekerja untuk masyarakat di daerahnya, sebab untuk itulah dia dipilih. Itulah amanat yang diemban di pundak seorang Gubernur. 

Namun belum apa-apa dan belum bekerja nyata sudah menyatakan dukungannya kepada pasangan capres, hal ini mencerminkan orientasi sang Gubernur yang lebih memikirkan politik dan kekuasaan daripada kesejahteraan rakyatnya. 

Aturan memang memungkinkan keterlibatan Gubernur dalam kampanye capres, tetapi untuk berkampanye Gubernur harus cuti lebih dulu dan melepaskan atributnya sebagai seorang Gubernur! Tidak elok pula dari segi etika pemerintahan karena dukungan dinyatakan pada saat kampanye belum dimulai.

Ketika seorang Gubernur terpilih maka mindset-nya seharusnya dirubah, bahwa dia bukan lagi menjadi milik partai atau segolongan orang yang memilihnya tapi Gubernur adalah milik semua warga di daerahnya. 

Langkah awal yang seharusnya diambil oleh seorang Gubernur adalah justru mencairkan polarisasi dukung-mendukung yang terjadi selama proses pilkada. 

Seorang Gubernur harus mampu menyatukan setiap elemen masyarakat untuk bersama-sama bergerak maju membangun daerahnya menjadi lebih baik, bukan justru terjebak dalam polarisasi dukung-mendukung yang tiada habisnya. 

Membiarkan masyarakat terpecah dalam kubu-kubu bukanlah sikap yang bijaksana. Disinilah kenegarawanan seorang Gubernur sebagai pemimpin diuji, apakah dia mampu berdiri di atas semua golongan atau tidak!

Sikap dukung-mendukung para Gubernur memiliki implikasi langsung yang tidak sehat untuk membangun good governance ke depan. Hal ini bisa dicermati dari dua relasi pemerintahan, pertama: relasi Gubernur dengan warganya dan kedua: relasi Gubernur dengan pemerintah pusat. 

Dukungan terbuka seorang Gubernur dengan terang dan jelas menunjukkan preperensi pribadinya. Tidakkah seorang Gubernur menyadari bahwa tindakan ini akan "melukai" hati warga yang memilihnya yang kebetulan dalam hal pilihan capres berbeda pilihan. 

Setiap warga yang memilih Gubernur tentu menyimpan harapan-harapan, harapan itu antara lain disamping mampu untuk memajukan daerah juga paling tidak memiliki pandangan politik yang berkesesuaian. Tentu semua orang bebas memilih termasuk Gubernur, tetapi adalah lebih bijak jika seorang Gubernur yang merupakan pejabat publik menampilkan sikap berdiri di atas semua golongan.

Seandainya pasangan capres yang didukung terpilih maka tidak menjadi masalah, tapi bagaimana kalau tidak terpilih! Hal ini akan menimbulkan relasi pemerintahan yang kurang baik antara Gubernur dengan Presiden pada masa yang akan datang, karena menyimpan perbedaan pandangan dan kepentingan. 

Dalam konteks sistem pemerintahan kita, Gubernur adalah wakil dari pemerintah pusat. Norma mengatur bahwa Gubernur disamping bertindak sebagai Kepala Daerah, dia juga adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat, artinya Gubernur dan Presiden adalah satu kesatuan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan. Sulit untuk membayangkan sinergitas yang baik antara Gubernur dengan Presiden jika dalam banyak hal berbeda orientasi dan kepentingan!

 Lantas, sebaiknya bagaimana Gubernur bersikap? Terpilih sebagai Gubernur diakui atau tidak membuktikan bahwa sang Gubernur adalah figur terbaik di daerahnya. 

Saat ini memimpin daerah, tak menutup kemungkinan kelak memimpin negara. Gubernur adalah pemimpin yang diharapkan oleh rakyat mampu berdiri di atas semua golongan dan kepentingan. Menjadi Gubernur itu seharusnya bersikap impersonal di mata rakyat. 

Gubernur adalah pilihan rakyat dan milik  rakyat. Gubernur seharusnya tidak terjebak dalam dukung-mendukung dan polarisasi kekuasaan. Tugas Gubernur yang utama adalah menyejahterakan warganya tanpa memandang pilihan politiknya. Tugas Gubernur adalah membangun daerah, menyiapkan generasi yang lebih baik pada masa yang akan datang. 

Itulah harapan besar masyarakat daerah! Gubernur seharusnya menjadi negarawan bukan sekedar politikus. Seperti ungkapan seorang pemikir dan penulis Amerika James Freeman Clarke (1810-1888): "A politician thinks of the next election; a statesman thinks of the next generation.". Seorang politikus memikirkan pemilu yang akan datang, tapi seorang negarawan memikirkan generasi yang akan datang. Demi kesejahteraan, seharusnya para Gubernur fokus menjalankan pemerintahan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun