Untuk memahami bahwa wisata halal bisa berjalan beriringan dengan pelestarian budaya, kita bisa belajar dari daerah lain di Indonesia. Lombok, misalnya, dikenal sebagai destinasi wisata halal yang sukses tanpa mengorbankan budaya lokal. Tradisi Sasak tetap hidup berdampingan dengan pengembangan pariwisata modern. Pemerintah setempat berhasil menciptakan keseimbangan dengan melibatkan masyarakat lokal dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Begitu pula di Yogyakarta, di mana wisatawan Muslim bisa menemukan fasilitas halal dengan mudah tanpa harus menghilangkan nilai-nilai budaya Jawa yang kental. Tarian tradisional, seni batik, hingga ritual keagamaan tetap menjadi bagian dari paket wisata yang menarik minat wisatawan dari berbagai belahan dunia.
Dari kedua contoh ini, kita belajar bahwa kunci utamanya adalah inklusivitas. Bukan soal memilih antara modernitas atau tradisi, tetapi bagaimana keduanya bisa saling melengkapi.
Mengapa Pelestarian Adat Lebih dari Sekadar Romantisme Masa Lalu?
Beberapa orang mungkin beranggapan bahwa menjaga adat istiadat hanyalah bentuk nostalgia terhadap masa lalu. Namun, pandangan ini jelas keliru. Pelestarian adat memiliki nilai strategis, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun ekologi.
Secara sosial, adat membangun identitas dan rasa memiliki di kalangan masyarakat. Ketika sebuah komunitas kehilangan adatnya, mereka juga kehilangan pijakan moral dan spiritual yang menghubungkan mereka dengan leluhur.
Secara ekonomi, budaya lokal adalah aset pariwisata yang tidak bisa ditiru oleh destinasi lain. Coba bayangkan jika semua tempat wisata di Indonesia seragam karena mengikuti standar global. Bukankah justru keberagaman budaya itu yang menjadi daya tarik Indonesia di mata dunia?
Secara ekologi, banyak kearifan lokal yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan. Masyarakat adat Batak, misalnya, memiliki aturan adat yang mengatur tentang bagaimana mereka berinteraksi dengan alam, termasuk dalam menjaga kelestarian hutan di sekitar Danau Toba.
Menemukan Titik Temu Bukan Soal Pilihan, Tapi Sinergi
Membangun wisata halal di Danau Toba seharusnya bukan tentang memilih antara agama dan budaya. Ini tentang bagaimana keduanya bisa berjalan beriringan, saling memperkuat, bukan saling menggeser.
Pemerintah memiliki peran penting dalam memastikan bahwa setiap kebijakan pariwisata mempertimbangkan suara masyarakat lokal. Dialog terbuka antara pemangku kepentingan, pelaku wisata, dan komunitas adat menjadi fondasi untuk menghindari kesalahpahaman.