Di tengah gema azan yang berkumandang lima kali sehari, lantunan doa-doa yang mengudara dari rumah-rumah ibadah, serta maraknya kajian keagamaan yang diikuti dengan antusias, Indonesia sering kali disebut sebagai negara dengan masyarakat yang religius. Di berbagai sudut kota, simbol-simbol keagamaan begitu nyata: mulai dari perempuan yang mengenakan hijab, lelaki yang memakai peci, hingga ungkapan-ungkapan religius yang mengisi percakapan sehari-hari.
Namun, di balik kesalehan yang terlihat di permukaan, realitas berkata lain. Laporan demi laporan tentang kekerasan seksual terus bermunculan, melibatkan korban dari berbagai usia dan latar belakang. Bahkan, pelakunya sering kali berasal dari lingkungan yang seharusnya menjaga nilai-nilai moral seperti lembaga pendidikan agama, keluarga, hingga tokoh masyarakat yang dihormati.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: jika masyarakat Indonesia benar-benar religius, mengapa kasus pemerkosaan, pelecehan seksual, dan kekerasan terhadap perempuan masih terjadi dalam jumlah yang mengkhawatirkan? Apakah religiositas yang dijunjung tinggi hanya sebatas simbol belaka tanpa makna yang benar-benar dipraktikkan?
Masyarakat Religius yang Hipokrit
Indonesia sering membanggakan diri sebagai negara dengan nilai-nilai religius yang kuat. Namun, kejahatan seksual justru tetap terjadi dengan intensitas yang mengkhawatirkan. Menurut data Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Ironisnya, banyak kasus justru terjadi di lingkungan yang secara eksplisit mengajarkan nilai-nilai moral dan etika.
Salah satu alasan utama mengapa kontradiksi ini terjadi adalah karena agama sering kali hanya dijadikan identitas sosial, bukan sebagai pedoman moral yang benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Orang-orang menunjukkan kesalehan mereka di ruang publik dengan mengenakan simbol-simbol keagamaan, menghadiri acara keagamaan, dan berbicara tentang moralitas tetapi di balik itu, perilaku mereka sering kali bertolak belakang dengan ajaran agama yang mereka anut.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan individu, tetapi juga dalam sistem sosial yang lebih besar. Misalnya, pemerintah dan aparat hukum sering kali menggunakan dalih agama dalam pembuatan kebijakan, tetapi pada saat yang sama gagal melindungi korban kekerasan seksual dengan hukum yang tegas. Banyak kasus pelecehan dan pemerkosaan yang akhirnya berakhir dengan impunitas, di mana pelaku tetap bebas berkeliaran atau mendapatkan hukuman yang tidak setimpal.
Budaya Patriarki dan Penyalahgunaan Agama dalam Membungkam Korban
Salah satu faktor utama yang menyebabkan maraknya kekerasan seksual di Indonesia adalah budaya patriarki yang masih mengakar kuat. Masyarakat sering kali menganggap laki-laki sebagai sosok yang lebih dominan dan berkuasa, sementara perempuan dipandang sebagai pihak yang harus tunduk dan patuh.
Dalam banyak kasus kekerasan seksual, korban justru disalahkan dan dipersalahkan atas kejadian yang menimpanya. Perempuan yang mengalami pelecehan atau pemerkosaan sering kali dianggap "mengundang" tindakan tersebut dengan cara berpakaian, bersikap, atau berada di tempat yang salah pada waktu yang salah. Alih-alih mendapatkan perlindungan dan keadilan, mereka justru dipaksa untuk diam karena takut mendapatkan stigma dari masyarakat.