Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia Negara Religus yang Hipokrit? Dimana Kasus Kekerasan Seksual Masih Marak Terjadi

31 Januari 2025   09:06 Diperbarui: 31 Januari 2025   09:06 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wanita menjadi korban budak seks . (Alexa/ Pixabay.com)

Di tengah gema azan yang berkumandang lima kali sehari, lantunan doa-doa yang mengudara dari rumah-rumah ibadah, serta maraknya kajian keagamaan yang diikuti dengan antusias, Indonesia sering kali disebut sebagai negara dengan masyarakat yang religius. Di berbagai sudut kota, simbol-simbol keagamaan begitu nyata: mulai dari perempuan yang mengenakan hijab, lelaki yang memakai peci, hingga ungkapan-ungkapan religius yang mengisi percakapan sehari-hari.

Namun, di balik kesalehan yang terlihat di permukaan, realitas berkata lain. Laporan demi laporan tentang kekerasan seksual terus bermunculan, melibatkan korban dari berbagai usia dan latar belakang. Bahkan, pelakunya sering kali berasal dari lingkungan yang seharusnya menjaga nilai-nilai moral seperti lembaga pendidikan agama, keluarga, hingga tokoh masyarakat yang dihormati.

Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: jika masyarakat Indonesia benar-benar religius, mengapa kasus pemerkosaan, pelecehan seksual, dan kekerasan terhadap perempuan masih terjadi dalam jumlah yang mengkhawatirkan? Apakah religiositas yang dijunjung tinggi hanya sebatas simbol belaka tanpa makna yang benar-benar dipraktikkan?

Masyarakat Religius yang Hipokrit

Indonesia sering membanggakan diri sebagai negara dengan nilai-nilai religius yang kuat. Namun, kejahatan seksual justru tetap terjadi dengan intensitas yang mengkhawatirkan. Menurut data Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Ironisnya, banyak kasus justru terjadi di lingkungan yang secara eksplisit mengajarkan nilai-nilai moral dan etika.

Salah satu alasan utama mengapa kontradiksi ini terjadi adalah karena agama sering kali hanya dijadikan identitas sosial, bukan sebagai pedoman moral yang benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Orang-orang menunjukkan kesalehan mereka di ruang publik dengan mengenakan simbol-simbol keagamaan, menghadiri acara keagamaan, dan berbicara tentang moralitas tetapi di balik itu, perilaku mereka sering kali bertolak belakang dengan ajaran agama yang mereka anut.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan individu, tetapi juga dalam sistem sosial yang lebih besar. Misalnya, pemerintah dan aparat hukum sering kali menggunakan dalih agama dalam pembuatan kebijakan, tetapi pada saat yang sama gagal melindungi korban kekerasan seksual dengan hukum yang tegas. Banyak kasus pelecehan dan pemerkosaan yang akhirnya berakhir dengan impunitas, di mana pelaku tetap bebas berkeliaran atau mendapatkan hukuman yang tidak setimpal.

Budaya Patriarki dan Penyalahgunaan Agama dalam Membungkam Korban

Salah satu faktor utama yang menyebabkan maraknya kekerasan seksual di Indonesia adalah budaya patriarki yang masih mengakar kuat. Masyarakat sering kali menganggap laki-laki sebagai sosok yang lebih dominan dan berkuasa, sementara perempuan dipandang sebagai pihak yang harus tunduk dan patuh.

Dalam banyak kasus kekerasan seksual, korban justru disalahkan dan dipersalahkan atas kejadian yang menimpanya. Perempuan yang mengalami pelecehan atau pemerkosaan sering kali dianggap "mengundang" tindakan tersebut dengan cara berpakaian, bersikap, atau berada di tempat yang salah pada waktu yang salah. Alih-alih mendapatkan perlindungan dan keadilan, mereka justru dipaksa untuk diam karena takut mendapatkan stigma dari masyarakat.

Yang lebih mengkhawatirkan, agama sering kali digunakan sebagai alat untuk membungkam korban. Banyak korban pemerkosaan yang dipaksa menikahi pelaku demi menjaga "kehormatan keluarga". Dalam beberapa kasus, tokoh agama justru membela pelaku dengan alasan "kesalahan manusia bisa dimaafkan", tanpa mempertimbangkan penderitaan yang dialami oleh korban.

Hal ini menunjukkan bahwa religiositas yang diklaim oleh masyarakat sebenarnya lebih banyak digunakan untuk menjaga citra sosial daripada benar-benar menerapkan nilai-nilai keadilan yang diajarkan dalam agama itu sendiri.

Ketidakberdayaan Hukum dan Ketimpangan Keadilan

Di Indonesia, hukum sering kali tidak berpihak pada korban kekerasan seksual. Banyak kasus yang tidak ditindaklanjuti dengan serius, baik karena kurangnya bukti, tekanan sosial, atau bahkan keterlibatan pihak berwenang dalam melindungi pelaku.

Banyak korban yang enggan melapor karena mereka tidak percaya bahwa mereka akan mendapatkan keadilan. Bahkan, dalam beberapa kasus, justru korban yang dikriminalisasi dengan dalih pencemaran nama baik atau penyebaran informasi yang dianggap "merusak citra" seseorang.

Tidak jarang kasus kekerasan seksual melibatkan orang-orang yang memiliki kekuasaan, baik di tingkat pemerintahan, lembaga pendidikan, hingga lingkungan keagamaan. Ketika pelaku memiliki pengaruh besar, korban sering kali dipaksa untuk diam atau menghadapi tekanan sosial yang berat.

Sementara itu, sistem peradilan yang ada juga masih memiliki banyak celah. Hukuman bagi pelaku sering kali tidak cukup berat untuk memberikan efek jera, sementara perlindungan bagi korban masih sangat minim. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), yang seharusnya menjadi solusi bagi banyak korban, mengalami penolakan bertahun-tahun sebelum akhirnya disahkan dalam bentuk Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Namun, implementasi dari undang-undang ini masih menghadapi banyak tantangan, terutama dalam aspek penegakan hukum yang efektif.

Krisis Moral yang Mengancam Generasi Mendatang

Jika masalah ini terus dibiarkan, maka dampaknya akan semakin buruk bagi generasi mendatang. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan ketidakadilan, di mana pelaku kejahatan sering kali bisa lolos tanpa hukuman dan korban justru dipaksa untuk diam.

Tanpa adanya perubahan yang nyata, Indonesia akan terus terjebak dalam siklus kekerasan yang sulit untuk diputus. Kejahatan seksual bukan hanya merusak individu yang menjadi korban, tetapi juga menciptakan efek domino yang merusak tatanan sosial secara keseluruhan.

Untuk keluar dari kontradiksi ini, perubahan harus dimulai dari berbagai aspek, mulai dari sistem hukum, pendidikan, hingga pola pikir masyarakat.

Membangun Indonesia yang Benar-Benar Berlandaskan Nilai-Nilai Moral

Jika Indonesia ingin benar-benar menjadi negara yang religius dalam arti yang sesungguhnya, maka perubahan yang nyata harus dilakukan. Agama tidak boleh hanya menjadi identitas sosial yang digunakan untuk menilai orang lain, tetapi harus benar-benar menjadi pedoman moral yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Hukum harus ditegakkan dengan tegas dan tanpa pandang bulu, terutama dalam kasus kekerasan seksual. Korban harus diberikan perlindungan yang layak, dan pelaku harus mendapatkan hukuman yang setimpal agar ada efek jera yang nyata.

Selain itu, pendidikan seksual yang berbasis ilmiah harus mulai diajarkan di sekolah. Pendidikan ini bukan tentang mendorong seks bebas, tetapi tentang memberikan pemahaman yang benar mengenai batasan tubuh, hak-hak individu, serta bagaimana melindungi diri dari kekerasan seksual.

Masyarakat juga harus mulai mengubah cara berpikir mereka terhadap korban kekerasan seksual. Sudah saatnya stigma terhadap korban dihapuskan, dan fokus dialihkan kepada bagaimana cara mencegah kejahatan ini terjadi sejak awal.

Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara yang benar-benar berlandaskan nilai-nilai moral, tetapi hal ini tidak akan terjadi jika masyarakat terus terjebak dalam kemunafikan. Kesalehan tidak cukup ditunjukkan melalui kata-kata dan simbol, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Jika tidak, maka Indonesia akan terus menjadi negara yang penuh dengan paradoks: religius di permukaan, tetapi rusak di dalam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun