Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia Negara Religus yang Hipokrit? Dimana Kasus Kekerasan Seksual Masih Marak Terjadi

31 Januari 2025   09:06 Diperbarui: 31 Januari 2025   09:06 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wanita menjadi korban budak seks . (Alexa/ Pixabay.com)

Yang lebih mengkhawatirkan, agama sering kali digunakan sebagai alat untuk membungkam korban. Banyak korban pemerkosaan yang dipaksa menikahi pelaku demi menjaga "kehormatan keluarga". Dalam beberapa kasus, tokoh agama justru membela pelaku dengan alasan "kesalahan manusia bisa dimaafkan", tanpa mempertimbangkan penderitaan yang dialami oleh korban.

Hal ini menunjukkan bahwa religiositas yang diklaim oleh masyarakat sebenarnya lebih banyak digunakan untuk menjaga citra sosial daripada benar-benar menerapkan nilai-nilai keadilan yang diajarkan dalam agama itu sendiri.

Ketidakberdayaan Hukum dan Ketimpangan Keadilan

Di Indonesia, hukum sering kali tidak berpihak pada korban kekerasan seksual. Banyak kasus yang tidak ditindaklanjuti dengan serius, baik karena kurangnya bukti, tekanan sosial, atau bahkan keterlibatan pihak berwenang dalam melindungi pelaku.

Banyak korban yang enggan melapor karena mereka tidak percaya bahwa mereka akan mendapatkan keadilan. Bahkan, dalam beberapa kasus, justru korban yang dikriminalisasi dengan dalih pencemaran nama baik atau penyebaran informasi yang dianggap "merusak citra" seseorang.

Tidak jarang kasus kekerasan seksual melibatkan orang-orang yang memiliki kekuasaan, baik di tingkat pemerintahan, lembaga pendidikan, hingga lingkungan keagamaan. Ketika pelaku memiliki pengaruh besar, korban sering kali dipaksa untuk diam atau menghadapi tekanan sosial yang berat.

Sementara itu, sistem peradilan yang ada juga masih memiliki banyak celah. Hukuman bagi pelaku sering kali tidak cukup berat untuk memberikan efek jera, sementara perlindungan bagi korban masih sangat minim. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), yang seharusnya menjadi solusi bagi banyak korban, mengalami penolakan bertahun-tahun sebelum akhirnya disahkan dalam bentuk Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Namun, implementasi dari undang-undang ini masih menghadapi banyak tantangan, terutama dalam aspek penegakan hukum yang efektif.

Krisis Moral yang Mengancam Generasi Mendatang

Jika masalah ini terus dibiarkan, maka dampaknya akan semakin buruk bagi generasi mendatang. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan ketidakadilan, di mana pelaku kejahatan sering kali bisa lolos tanpa hukuman dan korban justru dipaksa untuk diam.

Tanpa adanya perubahan yang nyata, Indonesia akan terus terjebak dalam siklus kekerasan yang sulit untuk diputus. Kejahatan seksual bukan hanya merusak individu yang menjadi korban, tetapi juga menciptakan efek domino yang merusak tatanan sosial secara keseluruhan.

Untuk keluar dari kontradiksi ini, perubahan harus dimulai dari berbagai aspek, mulai dari sistem hukum, pendidikan, hingga pola pikir masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun