Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan tanah subur yang mampu menumbuhkan berbagai jenis tanaman. Bahkan, pepatah lama "gemah ripah loh jinawi" sering digunakan untuk menggambarkan kekayaan alam negeri ini. Ironisnya, meskipun memiliki potensi besar, Indonesia masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Fenomena ini menjadi masalah serius yang bukan hanya merugikan petani lokal, tetapi juga berpotensi mengancam ketahanan pangan di masa depan.
Ketergantungan pada impor pangan bukanlah isu baru. Namun, ketika semakin banyak komoditas strategis seperti beras, gandum, gula, hingga kedelai bergantung pada pasokan dari negara lain, hal ini menjadi sinyal bahwa ada yang tidak beres dalam tata kelola pertanian dan pangan di negeri ini. Dalam artikel ini, kita akan mengulas lebih dalam dampak ketergantungan impor, akar permasalahannya, serta solusi yang dapat diambil untuk mengembalikan kemandirian pangan nasional.
Potret Ketergantungan Impor Pangan di Indonesia
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), impor pangan Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, pada 2022, Indonesia mengimpor lebih dari 10 juta ton gandum karena komoditas ini tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Selain itu, impor kedelai juga mencapai 2,5 juta ton untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tahu dan tempe, makanan pokok bagi banyak masyarakat.
Kondisi ini menggambarkan adanya ketergantungan yang kronis pada produk pangan dari luar negeri. Jika melihat lebih dalam, ketergantungan ini tidak hanya terjadi pada komoditas yang memang tidak dapat ditanam di Indonesia, seperti gandum. Sayangnya, komoditas yang seharusnya dapat dipenuhi dari dalam negeri, seperti beras, gula, dan jagung, juga sebagian besar berasal dari impor.
Hal ini menjadi ironi besar bagi Indonesia. Dengan luas lahan pertanian yang mencapai 32 juta hektare dan jumlah tenaga kerja di sektor ini yang mencapai 30 persen dari total angkatan kerja, mengapa kebutuhan pangan domestik tidak dapat sepenuhnya terpenuhi oleh petani lokal?
Dampak Ketergantungan Impor terhadap Petani Lokal
Ketergantungan impor pangan menciptakan berbagai dampak negatif yang merugikan petani lokal. Pertama, masuknya produk impor dalam jumlah besar sering kali membuat harga pasar anjlok. Misalnya, ketika pemerintah membuka keran impor beras, harga gabah di tingkat petani lokal langsung merosot. Ini membuat petani sulit mendapatkan keuntungan yang layak, bahkan untuk menutup biaya produksinya saja tidak cukup.
Selain itu, ketergantungan impor juga memengaruhi keberlanjutan usaha tani di Indonesia. Ketika petani merasa tidak lagi mendapatkan keuntungan yang memadai, banyak yang akhirnya memilih untuk meninggalkan profesi tersebut. Alhasil, regenerasi petani pun terganggu. Data dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa jumlah petani muda di Indonesia semakin sedikit, sementara mayoritas petani saat ini berusia di atas 50 tahun.
Yang lebih mengkhawatirkan, ketergantungan impor juga berdampak pada ketahanan pangan nasional. Jika suplai pangan dari negara pengimpor terganggu akibat krisis global, perang, atau perubahan kebijakan perdagangan, Indonesia akan kesulitan memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini pernah terjadi ketika pandemi COVID-19 melanda dunia. Gangguan rantai pasok global menyebabkan harga pangan di pasar domestik melonjak tajam, seperti pada gula dan minyak goreng.