Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Peran Badan Bank Tanah dalam Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia

26 Januari 2025   11:22 Diperbarui: 26 Januari 2025   11:22 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepala Badan Bank Tanah, Parman Nataatmadja bersama Rektor UNDIP, Prof. Suharnomo  di Kantor Badan Bank Tanah, Jakarta.(Dok. Badan Bank Tanah)

Tanah adalah sumber daya yang sangat berharga di Indonesia. Bukan hanya sebagai penopang kehidupan masyarakat agraris, tetapi juga menjadi tulang punggung pembangunan nasional. Namun, di balik perannya yang sangat vital, di Indonesia sendiri tanah kerap menjadi sumber konflik yang pelik dan berkepanjangan. Konflik agraria telah menjadi isu sensitif yang mencerminkan ketimpangan sosial dan masalah struktural yang belum terselesaikan sejak lama. Dalam kondisi seperti ini, hadirnya Badan Bank Tanah (BBT) membawa harapan baru untuk menciptakan keadilan dalam pengelolaan tanah di Indonesia.

Sejak pembentukannya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, BBT telah menjadi sorotan berbagai pihak. Lembaga ini memiliki mandat untuk mengelola tanah negara secara profesional dan adil, dengan fokus pada penyelesaian masalah agraria yang kompleks. Namun, apakah kehadiran Badan Bank Tanah benar-benar mampu menjawab tantangan konflik agraria di Indonesia?

Peta Konflik Agraria di Indonesia

Indonesia adalah negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, termasuk tanah. Akan tetapi, pengelolaan tanah di Indonesia tidak selalu berjalan mulus. Konflik agraria muncul sebagai dampak dari berbagai faktor, seperti ketimpangan penguasaan tanah, ketidakpastian hukum, tumpang tindih perizinan, hingga lemahnya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat.

Salah satu contoh nyata adalah kasus-kasus konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat di berbagai daerah. Banyak komunitas adat kehilangan akses terhadap tanah yang secara turun-temurun menjadi bagian dari kehidupan mereka. Tanah yang mereka klaim sering kali diambil alih oleh perusahaan besar untuk proyek perkebunan, pertambangan, atau infrastruktur. Hal ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga mengancam keberlangsungan budaya dan identitas mereka.

Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2022 terdapat lebih dari 200 kasus konflik agraria yang tercatat, dengan luas wilayah sengketa mencapai puluhan ribu hektar. Mayoritas konflik ini terjadi di sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Situasi ini menunjukkan bahwa konflik agraria bukan hanya persoalan individu, tetapi sudah menjadi isu nasional yang memerlukan perhatian serius.

Akar Masalah Konflik Agraria

Untuk memahami peran Badan Bank Tanah dalam mengatasi konflik agraria, kamu perlu menggali lebih dalam akar masalahnya. Salah satu penyebab utama konflik agraria di Indonesia adalah ketimpangan penguasaan tanah. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sekitar 1% penduduk menguasai lebih dari 50% tanah produktif di Indonesia. Ketimpangan ini semakin diperparah oleh maraknya praktik land banking oleh perusahaan besar yang menguasai lahan secara masif tanpa memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat sekitar.

Selain itu, tumpang tindih perizinan juga menjadi masalah yang kerap memicu konflik. Dalam beberapa kasus, tanah yang sudah dikelola oleh masyarakat selama bertahun-tahun tiba-tiba diberikan izin konsesi kepada perusahaan besar tanpa melalui proses konsultasi publik. Akibatnya, masyarakat yang telah lama menggantungkan hidup pada tanah tersebut kehilangan akses dan merasa terpinggirkan.

Aspek hukum juga memainkan peran besar dalam memperburuk konflik agraria. Ketidakjelasan status kepemilikan tanah, lambatnya proses sertifikasi, dan lemahnya penegakan hukum menjadi kendala utama dalam menyelesaikan sengketa tanah. Banyak masyarakat yang merasa tidak berdaya menghadapi proses hukum yang rumit dan cenderung memihak kepada pihak yang memiliki modal besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun