Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sampah Packaging dan Sisa Makanan jadi Isu Lingungan di Balik Program Makan Bergizi Gratis

18 Januari 2025   10:30 Diperbarui: 18 Januari 2025   10:30 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilsutrasi buang makanan atau limbah makanan. (Dok. Shutterstock/ nito)

Program makan bergizi gratis adalah langkah strategis yang banyak diadopsi pemerintah dan lembaga non-pemerintah untuk mengatasi kelaparan dan malnutrisi. Tujuannya jelas: meningkatkan kualitas hidup, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak sekolah, masyarakat berpenghasilan rendah, atau mereka yang hidup di daerah terpencil. Program ini telah memberikan dampak positif dalam memastikan akses masyarakat terhadap makanan sehat dan bergizi.

Namun, di balik manfaat tersebut, ada tantangan lingkungan yang jarang dibahas secara mendalam, yaitu masalah sampah packaging dan sisa makanan. Permasalahan ini berkembang seiring skala besar pelaksanaan program. Dampak lingkungan dari sampah ini menjadi isu serius, terutama di negara seperti Indonesia, yang masih berjuang dalam pengelolaan limbah secara sistematis. Untuk memahami akar masalah, penting membahasnya dari berbagai sudut pandang, termasuk aspek sosial, ekologis, dan teknis.

Masalah Sampah Packaging dalam Program Makan Gratis

Dalam upaya menjaga kebersihan dan efisiensi distribusi makanan, program makan gratis sering mengandalkan penggunaan bahan kemasan sekali pakai, seperti plastik, styrofoam, atau kertas berlapis. Praktik ini dianggap praktis karena ringan, murah, dan mudah diakses. Akan tetapi, dampaknya terhadap lingkungan jauh lebih kompleks daripada yang terlihat di permukaan.

Plastik dan styrofoam, misalnya, memerlukan waktu ratusan tahun untuk terurai. Ketika tidak dikelola dengan baik, sampah ini sering kali berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA), mencemari lingkungan sekitar. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, volume sampah plastik semakin meningkat dari tahun ke tahun. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2022 mencatat bahwa Indonesia menghasilkan sekitar 9 juta ton sampah plastik per tahun, dengan sebagian besarnya tidak terkelola dengan baik.

Lebih jauh lagi, sampah plastik yang tidak terolah dapat mencemari ekosistem laut. Berdasarkan laporan dari Jenna Jambeck, seorang peneliti dari Universitas Georgia, Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik laut terbesar kedua di dunia. Sampah packaging dari program makan gratis, meskipun hanya sebagian kecil dari total sampah, tetap memberikan kontribusi signifikan terhadap krisis ini. Kemasan makanan sering kali terbawa oleh angin, masuk ke saluran air, dan akhirnya berakhir di laut, mengancam kehidupan biota laut dan rantai makanan manusia.

Sisa Makanan Limbah yang Terlupakan

Selain masalah sampah packaging, sisa makanan menjadi isu lingkungan yang sama mendesaknya. Dalam program makan gratis, sisa makanan sering diabaikan sebagai limbah yang tidak signifikan. Namun, data global menunjukkan sebaliknya. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) melaporkan bahwa sekitar 1,3 miliar ton makanan terbuang setiap tahun di seluruh dunia, dan limbah ini menyumbang 8-10% dari total emisi gas rumah kaca.

Di Indonesia, budaya membuang makanan sering kali disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat. Sisa makanan yang tidak habis biasanya berasal dari porsi yang terlalu besar atau menu yang kurang sesuai dengan selera penerima manfaat. Masalah ini diperparah oleh keterbatasan fasilitas pengolahan limbah organik. Akibatnya, makanan yang terbuang akan membusuk di TPA dan menghasilkan metana, gas rumah kaca yang memiliki efek 25 kali lebih kuat dibandingkan karbon dioksida dalam mempercepat pemanasan global.

Sebagai gambaran, menurut data Bank Dunia, Indonesia menghasilkan sekitar 40 juta ton sampah makanan setiap tahun. Ini berarti bahwa sisa makanan bukan hanya masalah kecil, tetapi ancaman serius terhadap lingkungan dan keseimbangan ekosistem. Ketika program makan bergizi gratis tidak dirancang dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan, volume limbah ini hanya akan meningkat.

Mengapa Masalah Ini Sulit Diatasi?

Permasalahan sampah packaging dan sisa makanan dalam program makan bergizi gratis bukan hanya masalah teknis, tetapi juga melibatkan berbagai faktor sosial dan struktural. Salah satu penyebab utama adalah minimnya kesadaran dan edukasi masyarakat. Banyak orang tidak memahami dampak lingkungan dari perilaku membuang sampah sembarangan atau menyisakan makanan.

Di sisi lain, keterbatasan infrastruktur pengelolaan sampah menjadi tantangan yang signifikan. Di banyak daerah, terutama di wilayah pedesaan dan terpencil, tidak tersedia fasilitas pemilahan atau daur ulang sampah. Bahkan di kota besar sekalipun, pengelolaan limbah masih bergantung pada metode konvensional seperti pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan ke TPA. Sistem ini tidak dirancang untuk menangani volume besar sampah organik dan plastik yang dihasilkan oleh program makan gratis.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah biaya. Mengganti kemasan plastik dengan bahan biodegradable atau reusable membutuhkan investasi yang lebih besar. Demikian pula, membangun fasilitas pengolahan limbah organik memerlukan dana yang tidak sedikit. Ketika anggaran program makan gratis lebih difokuskan pada penyediaan makanan, aspek lingkungan sering kali diabaikan.

Dampak Sosial dan Ekologis yang Berkaitan

Jika tidak ditangani, masalah ini dapat menimbulkan dampak berantai yang lebih luas. Sampah plastik yang mencemari laut, misalnya, tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga kesehatan manusia. Mikroplastik yang terkandung dalam ikan dan makanan laut dapat masuk ke tubuh manusia, berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan jangka panjang.

Sementara itu, limbah makanan yang membusuk di TPA tidak hanya menghasilkan emisi metana, tetapi juga mencemari tanah dan air tanah di sekitarnya. Hal ini berdampak pada petani dan masyarakat yang tinggal di dekat area pembuangan sampah.

Dalam jangka panjang, pengabaian terhadap dampak lingkungan dari program makan gratis dapat mengurangi efektivitas program itu sendiri. Ketika lingkungan tercemar, kualitas hidup masyarakat yang seharusnya terbantu justru menurun. Ini menciptakan paradoks di mana solusi sosial menciptakan masalah baru yang justru merugikan masyarakat.

Solusi Berbasis Keberlanjutan

Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu dilakukan perubahan paradigma dalam merancang dan melaksanakan program makan bergizi gratis. Pendekatan berbasis keberlanjutan harus menjadi prioritas, tidak hanya untuk mengurangi dampak lingkungan, tetapi juga untuk memastikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat.

Edukasi masyarakat adalah langkah pertama yang paling penting. Penerima manfaat perlu diberikan pemahaman tentang pentingnya menghabiskan makanan yang diberikan dan cara mengelola limbah makanan dengan baik. Program ini dapat dilengkapi dengan pelatihan tentang pembuatan kompos dari sisa makanan, yang tidak hanya mengurangi limbah organik tetapi juga bermanfaat bagi pertanian.

Selanjutnya, pemerintah dan penyelenggara program harus berinvestasi dalam inovasi kemasan yang ramah lingkungan. Penggunaan bahan seperti daun pisang, bambu, atau bioplastik berbahan dasar singkong dapat menjadi alternatif yang layak. Di beberapa negara, seperti India, inisiatif serupa telah menunjukkan hasil positif dalam mengurangi sampah packaging.

Selain itu, penting untuk merancang sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi. Setiap lokasi distribusi makanan dapat dilengkapi dengan fasilitas pemilahan sampah dan pengolahan limbah. Dengan cara ini, sampah organik dapat diolah menjadi kompos, sementara plastik dan bahan lainnya dapat didaur ulang.

Penutup

Program makan bergizi gratis adalah inisiatif yang sangat penting dalam membangun masyarakat yang lebih sehat dan sejahtera. Namun, dampak lingkungan yang dihasilkan tidak boleh diabaikan. Dengan mengadopsi pendekatan berbasis keberlanjutan, kita dapat menciptakan keseimbangan antara manfaat sosial dan perlindungan lingkungan.

Kesadaran masyarakat, dukungan pemerintah, dan partisipasi sektor swasta menjadi kunci keberhasilan dalam mengatasi tantangan ini. Jika semua pihak bekerja sama, program makan bergizi gratis dapat menjadi solusi yang benar-benar menyeluruh, membawa kebaikan tidak hanya bagi manusia, tetapi juga bagi planet kita.

Dengan memahami masalah ini secara komprehensif, kita dapat mengambil langkah yang lebih bijak untuk memastikan bahwa upaya kita untuk membantu sesama tidak merusak masa depan generasi mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun