Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pentingnya Transportasi Publik yang Ramah untuk Disabilitas

17 Januari 2025   09:32 Diperbarui: 17 Januari 2025   09:32 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bus Trans Metro Deli saat beroperasi di Kota Medan(Instagram @temanbusmedan)

Transportasi publik memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat modern. Sebagai salah satu elemen vital dari infrastruktur kota, transportasi publik memungkinkan mobilitas yang efisien, mengurangi kepadatan lalu lintas, dan membantu menjaga keberlanjutan lingkungan. Namun, ketika kita berbicara tentang aksesibilitas transportasi publik, realitasnya tidak selalu ramah bagi semua orang. Bagi penyandang disabilitas, penggunaan transportasi publik sering kali penuh dengan hambatan, baik secara fisik maupun non-fisik.

Masalah ini bukanlah hal sepele. Di Indonesia, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan bahwa sekitar 10 persen populasi atau lebih dari 25 juta orang memiliki berbagai jenis disabilitas. Angka ini bukan hanya statistik; di baliknya ada individu-individu dengan kebutuhan unik yang sering kali diabaikan dalam perencanaan fasilitas umum, termasuk transportasi publik. Ketika transportasi publik tidak dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan mereka, dampaknya adalah terbatasnya akses mereka ke pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, dan kehidupan sosial.

Hambatan Fisik dan Non-Fisik yang Menghalangi Aksesibilitas

Salah satu hambatan terbesar bagi penyandang disabilitas dalam menggunakan transportasi publik adalah ketidaksesuaian fasilitas fisik. Banyak halte bus di kota-kota besar tidak memiliki jalur landai atau ramp yang cukup memadai. Stasiun kereta api, terutama di daerah-daerah, sering kali tidak dilengkapi lift atau eskalator yang berfungsi, membuatnya sulit diakses oleh pengguna kursi roda. Di beberapa daerah, ketinggian peron tidak sejajar dengan pintu masuk kereta, sehingga mempersulit penumpang dengan mobilitas terbatas.

Keterbatasan fisik bukanlah satu-satunya kendala. Penyandang tunanetra sering kali kesulitan karena minimnya informasi rute yang tersedia dalam bentuk audio. Sementara itu, penyandang tunarungu sering kali tidak mendapatkan informasi visual yang cukup jelas, misalnya saat terjadi perubahan jadwal mendadak. Ini menunjukkan bahwa tantangan aksesibilitas transportasi publik bukan hanya soal fasilitas, tetapi juga tentang bagaimana informasi disampaikan dengan cara yang inklusif.

Masalah ini diperparah oleh kurangnya pelatihan yang memadai bagi petugas transportasi. Banyak petugas tidak memahami cara memberikan bantuan yang tepat bagi penyandang disabilitas. Misalnya, beberapa pengemudi bus atau kondektur kereta tidak paham bagaimana membantu penumpang menggunakan kursi roda, atau enggan melakukannya karena dianggap memperlambat operasional. Hal ini menciptakan pengalaman yang tidak menyenangkan bagi penyandang disabilitas, yang sering kali merasa diabaikan atau bahkan diperlakukan dengan diskriminasi.

Kenyataan di Lapangan

Banyak cerita yang mencerminkan sulitnya penyandang disabilitas menggunakan transportasi publik. Seorang mahasiswa penyandang disabilitas di Jakarta pernah berbagi pengalamannya di media sosial tentang bagaimana ia harus meminta bantuan beberapa orang untuk menaikkan kursi rodanya ke dalam bus TransJakarta karena halte yang ia gunakan tidak memiliki lift. Hal serupa juga terjadi di beberapa stasiun kereta yang belum ramah bagi pengguna kursi roda.

Sementara itu, seorang tunanetra di Surabaya mengungkapkan kesulitannya dalam menggunakan angkot karena tidak ada sistem navigasi atau petunjuk audio yang memberitahukan nama-nama pemberhentian. Ia harus terus bertanya kepada penumpang lain, yang sering kali memberikan informasi yang tidak akurat. Ini menunjukkan bahwa penyandang disabilitas sering kali harus berjuang lebih keras hanya untuk melakukan aktivitas yang bagi orang lain terasa biasa.

Situasi ini juga mencerminkan adanya kesenjangan besar antara regulasi yang ada dan implementasi di lapangan. Misalnya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebenarnya sudah mengatur hak-hak penyandang disabilitas, termasuk aksesibilitas transportasi. Namun, realitasnya, masih banyak fasilitas transportasi publik yang tidak sesuai dengan standar yang diharapkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun