Quarter life crisis (QLC) adalah fenomena psikologis yang seringkali dialami oleh individu yang berada di usia dewasa muda, biasanya pada rentang usia 20 hingga awal 30-an. Pada fase ini, seseorang cenderung menghadapi kebingungan, tekanan emosional, hingga rasa tidak puas terhadap kehidupan. Fenomena ini semakin sering menjadi topik diskusi di era modern, terutama karena pola hidup yang serba cepat dan ekspektasi yang terus meningkat dari masyarakat.
Quarter life crisis bukan hanya sekadar istilah populer, melainkan sebuah realitas yang dapat berdampak signifikan pada kesehatan mental dan kehidupan seseorang secara keseluruhan. Namun, apa sebenarnya yang memicu krisis ini, dan bagaimana cara memahami serta menghadapinya secara lebih mendalam?
Quarter life crisis terjadi ketika individu merasa terjebak di antara masa muda yang penuh kebebasan dan tanggung jawab dewasa yang semakin menekan. Fase ini sering kali ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan besar tentang kehidupan: “Apakah aku berada di jalur yang benar?” “Apa tujuan hidupku?” atau “Mengapa aku tidak bisa merasa puas meskipun sudah mencapai banyak hal?”
Fenomena ini bisa muncul dalam berbagai bentuk. Beberapa orang mungkin merasa stagnan karena belum mencapai target karier atau finansial yang diinginkan. Yang lain mungkin merasakan tekanan sosial untuk segera menikah atau membangun keluarga, sementara sebagian lagi merasa tidak yakin dengan identitas diri mereka. Semua ini menciptakan rasa kecemasan dan kebingungan yang dapat mengganggu kehidupan sehari-hari.
Penelitian yang diterbitkan dalam International Journal of Behavioral Development menunjukkan bahwa quarter life crisis bukan hanya tentang ketidakpastian karier atau keuangan, tetapi juga melibatkan konflik internal yang lebih dalam. Individu yang mengalami QLC sering kali merasa kehilangan arah, terputus dari identitas mereka sendiri, dan kesulitan menemukan makna hidup.
Mengapa Quarter Life Crisis Bisa Terjadi?
Penyebab quarter life crisis tidak bisa dilepaskan dari kompleksitas kehidupan modern. Ada beberapa faktor utama yang berkontribusi pada fenomena ini, dan semuanya saling berkaitan satu sama lain.
Pertama, kita hidup di era yang didominasi oleh media sosial. Platform seperti Instagram, LinkedIn, dan TikTok tidak hanya menjadi tempat berbagi momen, tetapi juga arena untuk memamerkan kesuksesan. Saat seseorang melihat teman sebaya yang tampaknya sukses dalam karier, memiliki hubungan ideal, atau menikmati gaya hidup mewah, muncul rasa cemas yang disebut dengan istilah social comparison. Kamu mungkin merasa bahwa pencapaianmu tidak ada artinya dibandingkan dengan apa yang dipamerkan oleh orang lain.
Kedua, tekanan sosial untuk mencapai “kesuksesan” di usia muda juga memainkan peran besar. Dalam banyak budaya, usia 20-an dianggap sebagai masa produktif di mana seseorang harus menyelesaikan pendidikan, memulai karier, membeli rumah, atau membangun keluarga. Ketika ekspektasi ini tidak terpenuhi, muncul rasa gagal yang sulit diatasi.