Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dear Gen Z, Kebahagian itu Tidak Punya Standar dan Ukuran

16 Januari 2025   17:54 Diperbarui: 16 Januari 2025   18:19 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era digital yang serba canggih ini, kita seringkali merasa bahwa kebahagiaan memiliki standar yang harus dipenuhi. Semua ini diperburuk dengan adanya media sosial yang menampilkan kebahagiaan dalam bentuk yang sangat ideal. Banyak orang merasa tertekan karena merasa kehidupan mereka tidak memenuhi "standar kebahagiaan" yang telah ditetapkan oleh orang lain. Namun, apa yang sering terlupakan adalah bahwa kebahagiaan adalah pengalaman yang sangat pribadi dan tidak bisa dipaksakan. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa dihitung, diukur, atau dipaksakan dalam bentuk tertentu. Setiap orang berhak mendefinisikan kebahagiaannya sendiri, tanpa terikat pada ekspektasi atau gambaran hidup orang lain.

Di sinilah masalah besar muncul, terutama bagi kamu, generasi Z, yang tumbuh besar dalam dunia yang terus berubah dan dipenuhi dengan berbagai macam harapan serta penilaian. Sebagai generasi yang tidak hanya lahir di dunia teknologi, tetapi juga terbiasa dengan perbandingan yang terus-menerus, kamu mungkin merasa kebahagiaan hanya bisa diraih dengan memiliki segala yang terlihat sempurna di dunia maya. Namun, apakah itu benar? Mari kita telusuri lebih dalam.

Kebahagiaan Adalah Perasaan yang Subjektif

Kebahagiaan adalah hal yang sangat pribadi, dan tidak ada satu pun formula yang bisa menyamaratakan bagaimana seseorang bisa merasa bahagia. Setiap orang mempunyai definisi kebahagiaannya sendiri yang terbentuk berdasarkan latar belakang, pengalaman, dan pandangannya terhadap dunia. Kebahagiaanmu bisa saja berbeda dengan kebahagiaan orang lain, bahkan dengan kebahagiaan orang yang berada di sekitarmu. Seseorang mungkin merasa bahagia saat mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya, sementara orang lain merasa lebih bahagia dengan menjalani kehidupan yang sederhana, jauh dari keramaian kota. Sebuah kebahagiaan bisa datang dari pencapaian besar seperti mendapatkan beasiswa atau memenangkan kompetisi, tetapi juga bisa datang dari hal-hal kecil yang lebih intim, seperti makan malam bersama keluarga atau menikmati waktu sendirian di tengah kesibukan dunia.

Namun, dalam kehidupan modern yang serba terhubung ini, kita sering kali lupa akan fakta bahwa kebahagiaan itu tidak bisa diukur. Media sosial, dengan gambar-gambar cerahnya, sering kali menggambarkan kebahagiaan dalam bentuk yang sangat ideal, bahkan tidak realistis. Di Instagram, TikTok, atau platform lainnya, kita bisa melihat orang-orang yang berlibur ke luar negeri, membeli barang-barang mahal, atau menunjukkan pencapaian-pencapaian besar mereka. Semua ini berpotensi menanamkan ide bahwa kebahagiaan terletak pada apa yang kita miliki atau apa yang telah kita capai dalam hidup. Padahal, hal tersebut tidak lebih dari sekadar pencitraan. Gambar yang terlihat bahagia di media sosial bisa saja menyembunyikan tantangan besar yang sebenarnya dihadapi oleh orang tersebut.

Media Sosial Musuh atau Teman?

Media sosial memang telah membawa banyak kemudahan, baik dalam hal komunikasi, pekerjaan, maupun hiburan. Tetapi, kita tidak bisa menafikan bahwa media sosial juga berperan dalam membentuk gambaran tentang apa itu kebahagiaan. Sebagian besar konten yang ada di media sosial bertujuan untuk menampilkan momen-momen positif, terkadang sangat jauh dari kenyataan. Hal ini membuat kamu, terutama generasi Z, yang tumbuh besar dengan media sosial, merasa bahwa kebahagiaan harus terukur dengan cara yang sama dengan apa yang kita lihat di layar.

Kita sering melihat teman-teman atau influencer memamerkan liburan mewah, foto-foto dengan pakaian terbaru, atau gaya hidup glamor. Gambaran ini tanpa disadari dapat menciptakan standar kebahagiaan yang palsu, yang tidak jarang memicu perasaan tidak cukup atau gagal. Kamu mungkin merasa bahwa kebahagiaan seharusnya datang dengan pencapaian yang terlihat dari luar, seperti memiliki uang yang cukup, memiliki hubungan yang sempurna, atau mendapatkan ketenaran. Padahal, kebahagiaan yang sejati tidak dapat dilihat dari apa yang dipamerkan di media sosial, melainkan datang dari dalam diri seseorang itu sendiri.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association, perbandingan sosial yang dipicu oleh media sosial memang dapat menurunkan tingkat kebahagiaan dan meningkatkan kecemasan. Hal ini terjadi karena kita seringkali merasa bahwa hidup kita tidak cukup "hebat" jika dibandingkan dengan orang lain. Namun, yang tidak kita sadari adalah bahwa apa yang kita lihat di media sosial seringkali hanya sebagian kecil dari kehidupan orang tersebut, yang mungkin juga dipenuhi dengan perjuangan dan masalah yang tak terlihat oleh mata.

Tekanan Sosial dan Pencapaian yang Tak Pernah Berhenti

Tekanan untuk memenuhi standar kebahagiaan yang tidak realistis ini semakin besar karena adanya budaya hustle yang mendewakan kerja keras tanpa henti. Banyak orang, terutama dari kalangan muda, merasa tertekan untuk terus berprestasi dan memenuhi ekspektasi orang lain. Keberhasilan sering kali diukur dengan pencapaian materi, status sosial, atau karier yang cemerlang. Hal ini tidak hanya terjadi dalam dunia kerja, tetapi juga dalam kehidupan pribadi.

Generasi Z sering merasa bahwa mereka harus bisa sukses sejak usia muda, baik dalam hal karier maupun prestasi sosial. Kehidupan yang terlihat sangat sibuk, penuh dengan berbagai kegiatan yang produktif, dan diisi dengan pencapaian-pencapaian luar biasa, sering kali menjadi tolak ukur kebahagiaan. Kamu mungkin merasa tertinggal jika tidak memiliki pencapaian besar pada usia yang masih muda. Padahal, kebahagiaan tidak seharusnya diukur dengan seberapa banyak yang telah kita capai, melainkan dengan bagaimana kita menjalani kehidupan kita dengan damai, seimbang, dan puas.

Sebuah studi yang dilakukan oleh National Institute of Mental Health menunjukkan bahwa kecemasan dan stres yang dirasakan oleh generasi muda akibat tekanan sosial ini semakin meningkat. Rasa cemas untuk memenuhi harapan orang lain, apakah itu orang tua, teman, atau masyarakat luas, telah menjadi faktor utama dalam menurunnya kualitas hidup banyak individu. Kamu tidak perlu menjadi korban dari standar kebahagiaan yang dibuat-buat ini. Menghargai perjalanan hidupmu sendiri, apapun bentuknya, adalah langkah pertama untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.

Kebahagiaan Itu Perjalanan, Bukan Tujuan

Salah satu cara terbaik untuk menemukan kebahagiaan adalah dengan mengubah cara kita memandang hidup. Kebahagiaan bukanlah sebuah tujuan akhir yang harus dicapai, melainkan sebuah perjalanan yang harus dinikmati. Ini adalah konsep yang mungkin sulit dipahami, terutama di tengah tekanan sosial yang ada, tetapi kenyataannya adalah bahwa kebahagiaan sejati datang ketika kita bisa menerima dan menikmati proses hidup ini.

Ketika kamu berhenti terobsesi dengan pencapaian dan status sosial, kamu akan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal yang lebih sederhana. Kebahagiaan bisa datang dari momen-momen kecil yang jarang kita hargai, seperti berbicara dengan teman baik, menikmati waktu bersama keluarga, atau sekadar berjalan-jalan di alam terbuka. Hal-hal ini mungkin terlihat sederhana, tetapi bagi banyak orang, mereka adalah sumber kebahagiaan yang lebih besar daripada pencapaian materi.

Kesimpulan

Kebahagiaanmu adalah milikmu sendiri, dan tidak ada satu orang pun yang bisa mendefinisikan bagaimana kamu seharusnya bahagia. Sebagai generasi yang tumbuh di tengah tekanan media sosial dan standar sosial yang tidak realistis, sangat penting untuk menyadari bahwa kebahagiaan tidak bisa diukur dengan cara yang sama bagi semua orang. Berhentilah membandingkan dirimu dengan orang lain dan fokuslah untuk menciptakan kebahagiaanmu sendiri, yang sesuai dengan nilai dan harapan pribadimu.

Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang datang dengan cara yang besar dan dramatis. Sebaliknya, kebahagiaan itu sering kali hadir dalam momen-momen kecil yang dapat kita nikmati dengan penuh kesadaran. Dalam dunia yang terus berubah ini, satu hal yang pasti adalah bahwa kamu berhak merasa bahagia dengan caramu sendiri. Jadi, nikmatilah hidup ini, hargai perjalananmu, dan temukan kebahagiaan dalam setiap langkah yang kamu ambil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun