Di tengah perkembangan global yang menuntut keterampilan dan pengetahuan sebagai pondasi keberhasilan, pendidikan menjadi kebutuhan mendasar bagi setiap individu. Namun, di Indonesia, kesenjangan sosial dan ekonomi menciptakan jurang yang menghalangi sebagian masyarakat, khususnya mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, untuk menikmati hak ini secara setara. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar yang mengusik nurani: apakah pendidikan hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu? Apakah pendidikan tidak layak untuk si miskin?
Pertanyaan ini bukan hanya sekadar retorika, tetapi cerminan dari realitas yang dihadapi jutaan anak Indonesia. Pendidikan, yang sejatinya menjadi kunci untuk memutus rantai kemiskinan, sering kali justru sulit diakses oleh mereka yang paling membutuhkannya. Berbagai faktor struktural, ekonomi, dan kultural berkontribusi pada situasi ini, dan pembahasan lebih mendalam dapat membantu memahami kompleksitas permasalahan ini.
Kemiskinan sebagai Penghalang Utama
Kemiskinan di Indonesia masih menjadi tantangan besar. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022, sebanyak 9,54% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Kondisi ini tidak hanya mencakup ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tetapi juga ketidakmampuan untuk mengakses layanan penting seperti pendidikan.
Bagi keluarga miskin, pendidikan sering kali dipandang sebagai kemewahan. Meskipun pemerintah telah menghapus biaya sekolah melalui program wajib belajar 12 tahun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa biaya tersembunyi tetap menjadi beban yang berat. Seragam, buku, alat tulis, transportasi, dan bahkan uang saku adalah pengeluaran tambahan yang tidak mampu ditanggung banyak keluarga miskin.
Tidak sedikit anak-anak dari keluarga miskin yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah untuk membantu orang tua mencari nafkah. Mereka bekerja sebagai buruh, pedagang kecil, atau bahkan pemulung untuk menambah penghasilan keluarga. Ketika pendidikan tidak lagi menjadi prioritas, potensi mereka untuk berkembang menjadi individu produktif pun terhambat, dan lingkaran kemiskinan semakin sulit diputus.
Ketimpangan Fasilitas dan Infrastruktur Pendidikan
Kemiskinan juga berdampak pada kualitas pendidikan yang diterima oleh anak-anak. Sekolah-sekolah di daerah terpencil atau wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi sering kali kekurangan fasilitas yang layak. Gedung sekolah yang rusak, minimnya bahan ajar, dan ketiadaan akses teknologi adalah pemandangan yang umum di daerah-daerah ini.
Menurut laporan UNICEF tahun 2021, hampir 60% sekolah di Indonesia tidak memiliki akses internet yang memadai. Kondisi ini semakin memperburuk ketimpangan antara anak-anak yang tinggal di perkotaan dan mereka yang tinggal di pedesaan atau daerah terpencil. Sementara anak-anak di kota besar menikmati pendidikan dengan fasilitas modern, anak-anak di daerah miskin harus berjuang dengan segala keterbatasan untuk memperoleh ilmu.
Lebih jauh lagi, kualitas tenaga pengajar di daerah terpencil juga menjadi masalah. Banyak guru yang tidak mendapatkan pelatihan memadai atau memilih untuk bekerja di kota karena alasan ekonomi. Akibatnya, anak-anak di daerah miskin tidak hanya kehilangan akses terhadap fasilitas pendidikan, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk belajar dari guru-guru berkualitas.