Perdebatan mengenai presidential threshold di Indonesia terus menjadi polemik yang belum menemukan titik temu. Presidential threshold adalah aturan dalam sistem pemilu yang mengatur bahwa partai politik atau koalisi partai harus memiliki minimal 20% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 25% suara sah nasional untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. Aturan ini mulai berlaku sejak Pemilu 2004 dan terus diimplementasikan hingga saat ini. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, wacana penghapusan presidential threshold semakin nyaring terdengar.
Jika presidential threshold dihapus, konsekuensinya akan signifikan, baik dari segi dinamika politik, stabilitas pemerintahan, maupun arah masa depan demokrasi Indonesia. Apa sebenarnya yang menjadi latar belakang wacana ini, dan mengapa hal ini bisa membingungkan arah politik negara? Artikel ini akan membahas secara mendalam berbagai aspek terkait isu tersebut.
Latar Belakang Presidential Threshold
Pada awal penerapannya, presidential threshold dimaksudkan untuk menyaring kandidat presiden dan mendorong terciptanya sistem politik yang lebih stabil. Dengan adanya ambang batas, partai politik didorong untuk membentuk koalisi sehingga hanya kandidat dengan dukungan kuat yang dapat maju dalam pemilu.
Namun, seiring berjalannya waktu, aturan ini mendapatkan kritik tajam. Banyak pihak menilai bahwa presidential threshold justru membatasi demokrasi. Partai kecil, meskipun memiliki basis dukungan yang signifikan, sering kali kehilangan hak untuk mengajukan calon. Akibatnya, pilihan kandidat bagi masyarakat menjadi sangat terbatas. Pada Pemilu 2019, misalnya, hanya ada dua pasangan calon yang maju: Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Hal ini memicu polarisasi yang sangat tajam di masyarakat.
Para pengkritik juga menganggap bahwa presidential threshold lebih banyak diuntungkan oleh partai-partai besar, yang memiliki kekuasaan lebih besar dalam membentuk koalisi. Ini menciptakan ketidakseimbangan dalam sistem politik, di mana partai kecil hanya menjadi pengikut dalam dinamika politik nasional.
Mengapa Penghapusan Presidential Threshold Diusulkan?
Ada beberapa alasan utama mengapa penghapusan presidential threshold menjadi topik yang semakin relevan. Pertama, banyak pihak menganggap bahwa aturan ini bertentangan dengan semangat demokrasi. Demokrasi seharusnya memberi ruang yang sama bagi setiap partai politik untuk mencalonkan kandidat yang dianggap mampu memimpin negara, tanpa harus terkendala oleh syarat-syarat administratif yang berat.
Kedua, penghapusan presidential threshold diyakini dapat membuka ruang bagi calon-calon alternatif yang selama ini tidak muncul karena dominasi partai besar. Pemimpin dari partai kecil atau calon independen yang memiliki kualitas kepemimpinan mumpuni dapat lebih mudah maju. Dengan demikian, masyarakat memiliki lebih banyak pilihan, dan sistem politik menjadi lebih dinamis.
Ketiga, aturan ini juga dianggap menghambat regenerasi politik. Dengan ambang batas yang tinggi, hanya partai besar yang memiliki peluang untuk mencalonkan kader mereka. Sementara itu, potensi dari tokoh-tokoh muda atau pemimpin baru dari partai kecil cenderung tidak terekspos.