Korupsi adalah salah satu masalah terbesar yang menghantui perjalanan panjang bangsa Indonesia. Meski sudah ada berbagai upaya pemberantasan dan kebijakan yang diambil, korupsi tetap merajalela. Setiap tahun, daftar kasus korupsi yang diungkap semakin panjang, namun kepercayaan publik terhadap keberhasilan pemberantasannya justru semakin menurun. Ada ketimpangan yang jelas dalam penegakan hukum, lemahnya sanksi, dan kurangnya komitmen nyata dari berbagai pihak untuk melawan korupsi secara menyeluruh.
Membicarakan korupsi di Indonesia bukanlah hal yang sederhana. Masalah ini begitu kompleks karena menyangkut struktur kekuasaan, sistem hukum, budaya, hingga pola pikir sebagian individu di dalam birokrasi dan masyarakat. Tulisan ini akan membahas lebih dalam mengapa korupsi terus menjadi momok, bagaimana hukum yang diterapkan terasa tidak adil, dan sejauh mana komitmen pemerintah serta aparat hukum dalam menanganinya.
Korupsi adalah Sebuah Penyakit Kronis
Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum biasa, tetapi juga pelanggaran terhadap amanah rakyat dan hak asasi manusia. Praktik ini mencuri sumber daya yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan semua orang. Ketika dana publik disalahgunakan, dampaknya langsung terasa pada sektor-sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur.
Ambil contoh kasus korupsi dana bantuan sosial yang mencuat beberapa tahun lalu. Di tengah pandemi COVID-19, ketika masyarakat kelas bawah menghadapi kesulitan luar biasa, ada pihak-pihak tertentu yang justru tega menyelewengkan dana bantuan untuk kepentingan pribadi. Kasus ini tidak hanya menyakitkan secara moral, tetapi juga menunjukkan betapa korupsi telah merusak fondasi keadilan sosial di negeri ini.
Namun, mengapa korupsi seolah tidak bisa diberantas? Jawabannya terletak pada lemahnya penegakan hukum, ketidakkonsistenan kebijakan, dan budaya permisif yang telah mengakar dalam sistem birokrasi.
Ketidakadilan dalam Penegakan Hukum
Salah satu masalah utama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia adalah ketidakadilan dalam sistem hukum. Ada anggapan bahwa hukum di Indonesia "tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas." Pernyataan ini, meskipun sering dianggap klise, memiliki dasar yang kuat.
Misalnya, dalam beberapa kasus, pelaku korupsi kelas atas seperti pejabat tinggi atau pengusaha besar sering kali mendapatkan hukuman ringan. Banyak dari mereka hanya dijatuhi hukuman beberapa tahun penjara, dengan fasilitas yang relatif nyaman dibandingkan penjara untuk pelaku tindak pidana lainnya. Bahkan, dalam beberapa kasus, mereka mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat yang memperpendek masa hukumannya.
Sebaliknya, rakyat kecil yang melakukan pelanggaran hukum, meski nilainya jauh lebih kecil dibandingkan kasus korupsi besar, sering kali dihukum berat. Contohnya, ada kasus di mana seorang ibu rumah tangga dipenjara karena mencuri beberapa buah cokelat di minimarket untuk anaknya. Hal ini mencerminkan adanya ketimpangan yang sangat nyata dalam sistem hukum kita.