Kesenjangan sosial dan ekonomi merupakan salah satu masalah utama yang terus membayangi Indonesia hingga saat ini. Fenomena ini bukan sekadar isu statistik atau angka, melainkan kenyataan pahit yang dialami banyak masyarakat di berbagai pelosok negeri. Ketimpangan distribusi kekayaan, khususnya dalam hal akses terhadap lahan, menjadi akar dari berbagai masalah sosial dan ekonomi, mulai dari kemiskinan, pengangguran, hingga konflik agraria yang meresahkan.
Sebagai salah satu langkah strategis untuk mengatasi masalah ini, pemerintah membentuk Badan Bank Tanah, sebuah lembaga yang bertujuan untuk menangani pengelolaan dan distribusi lahan secara lebih terarah dan lebih adil. Peran Badan Bank Tanah dinilai sangat signifikan dalam upaya mempersempit kesenjangan, baik dari sisi sosial maupun ekonomi. Namun, sebelum membahas lebih dalam mengenai peran lembaga ini, penting untuk memahami mengapa kesenjangan sosial dan ekonomi menjadi persoalan yang begitu kompleks dan apa kaitannya dengan pengelolaan lahan di Indonesia.
Ketimpangan Lahan sebagai Pemicu Kesenjangan Sosial dan Ekonomi
Indonesia, sebagai negara agraris dengan luas wilayah yang besar, seharusnya memiliki keunggulan dalam hal distribusi sumber daya, terutama tanah. Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Sebagian besar lahan produktif dikuasai oleh segelintir pihak, baik itu perusahaan besar maupun individu tertentu. Sementara itu, sebagian besar masyarakat, khususnya petani kecil dan masyarakat adat, hanya memiliki lahan dalam skala kecil atau bahkan tidak memiliki akses terhadap tanah sama sekali.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 1% penduduk menguasai hampir 70% tanah yang ada di Indonesia. Ketimpangan ini tidak hanya menghambat pembangunan sosial, tetapi juga memperparah kemiskinan di pedesaan. Petani kecil yang tidak memiliki lahan terpaksa bekerja sebagai buruh tani dengan pendapatan yang minim, sementara masyarakat yang tinggal di perkotaan kerap terjebak dalam siklus kemiskinan akibat tingginya harga tanah untuk perumahan.
Masalah ini diperparah dengan adanya konflik agraria yang terus meningkat setiap tahunnya. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa pada 2022 saja, terjadi ratusan kasus konflik agraria yang melibatkan masyarakat, perusahaan, dan pemerintah. Konflik ini sering kali muncul akibat ketidakjelasan status kepemilikan tanah atau tumpang tindih hak pengelolaan lahan.
Dalam situasi seperti ini, pengelolaan tanah yang adil dan transparan menjadi kebutuhan mendesak. Tanpa intervensi yang serius, ketimpangan ini akan terus memicu permasalahan sosial dan ekonomi yang lebih luas, termasuk meningkatnya angka pengangguran, ketidakstabilan sosial, hingga menurunnya daya saing nasional.
Badan Bank Tanah sebagai Solusi Strategis
Badan Bank Tanah dibentuk dengan tujuan utama untuk menjawab tantangan ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia. Lembaga ini memiliki mandat untuk memperoleh, mengelola, dan mendistribusikan tanah secara optimal, baik untuk kepentingan pembangunan nasional maupun kebutuhan masyarakat. Pembentukan Badan Bank Tanah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang sekaligus menegaskan pentingnya reformasi agraria dalam rangka menciptakan keadilan sosial.
Keunikan Badan Bank Tanah terletak pada fungsi strategisnya yang tidak hanya berfokus pada redistribusi lahan, tetapi juga pengelolaan tanah dalam jangka panjang. Lahan yang dikelola oleh lembaga ini tidak semata-mata diberikan kepada individu atau kelompok tertentu, melainkan juga digunakan untuk mendukung proyek-proyek pembangunan yang memiliki dampak luas, seperti pembangunan perumahan rakyat, kawasan industri, hingga fasilitas umum.