Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

PPN 12% Hanya untuk Barang Premium, Apakah Kebijakan ini Sudah Tepat Sasaran?

4 Januari 2025   08:40 Diperbarui: 4 Januari 2025   08:40 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi PPN naik 12 persen (Freepik.com)

Belakangan ini, pemerintah kembali memantik diskusi hangat melalui kebijakan perpajakan yang cukup kontroversial. Penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% untuk barang-barang premium menjadi salah satu topik utama dalam perbincangan publik. Meski kebijakan ini diklaim bertujuan menciptakan keadilan pajak, muncul pertanyaan besar: apakah langkah ini sudah tepat sasaran?

Untuk memahami lebih jauh, kita perlu menelisik alasan di balik kebijakan ini, implikasinya terhadap ekonomi, serta potensi tantangan dalam pelaksanaannya.

Apa Alasan di Balik PPN 12% untuk Barang Premium?

Secara umum, Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan pada setiap tahap produksi dan distribusi barang atau jasa. Dalam konteks kebijakan terbaru, pemerintah menargetkan barang-barang premium untuk dikenakan PPN lebih tinggi. Barang-barang ini dianggap sebagai konsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi yang dinilai mampu menanggung beban pajak tambahan.

Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani masyarakat dengan penghasilan rendah. Barang-barang premium seperti mobil mewah, hunian mewah, daging premium,  perhiasan mahal, atau produk mode kelas atas sering dianggap sebagai simbol konsumsi berlebihan. Dengan menaikkan pajak untuk kategori ini, pemerintah berharap bisa menekan ketimpangan sosial sekaligus meningkatkan pendapatan pajak yang bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan.

Namun, pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan "barang premium" tidaklah sesederhana itu. Kategori ini memiliki batasan yang relatif dan sering kali dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, dan ekonomi. Misalnya, sebuah smartphone seharga puluhan juta rupiah bisa dianggap barang premium oleh sebagian orang, tetapi bagi lainnya, itu merupakan kebutuhan kerja yang tidak terhindarkan. Hal ini menciptakan dilema kebijakan yang membutuhkan kejelasan kriteria dan pengawasan ketat.

Dampak Kebijakan terhadap Industri dan Konsumsi

Kebijakan pajak selalu memiliki dampak berantai. Dalam kasus ini, pelaku industri yang memproduksi atau mendistribusikan barang-barang premium mungkin akan menghadapi tantangan besar. Dengan penerapan PPN 12%, harga barang premium dipastikan akan naik, yang dapat mengurangi daya tarik konsumen terhadap produk-produk ini.

Penurunan konsumsi barang premium berpotensi memukul industri otomotif, mode, atau barang elektronik kelas atas. Sebagai contoh, data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan bahwa kendaraan mewah menyumbang sebagian kecil dari total penjualan otomotif nasional, tetapi segmen ini memiliki dampak ekonomi yang signifikan, terutama dalam hal investasi dan penciptaan lapangan kerja. Jika konsumen mulai mengurangi pembelian karena harga yang melonjak, maka produsen lokal yang memproduksi barang-barang ini akan kehilangan pangsa pasar, bahkan berpotensi memotong tenaga kerja.

Di sisi lain, masyarakat kelas atas yang menjadi target utama kebijakan ini juga bisa mencari cara untuk menghindari pajak. Salah satu caranya adalah dengan membeli barang premium melalui jalur impor ilegal atau pasar gelap. Hal ini tidak hanya merugikan penerimaan negara, tetapi juga menciptakan persaingan tidak sehat bagi pelaku usaha yang mematuhi peraturan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun