Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Presidential Threshold Dihapus, Kabar Baik untuk Demokrasi Indonesia?

3 Januari 2025   07:07 Diperbarui: 3 Januari 2025   08:17 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sidang Mahkama Konsitusi.(KOMPAS.com/NIRMALA MAULANA A)

Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden menjadi salah satu isu yang terus menjadi perdebatan hangat. Sejak diterapkannya aturan ini, banyak pihak yang memandangnya sebagai penghalang bagi demokrasi yang inklusif dan sehat. Penghapusan presidential threshold kini menjadi salah satu usulan reformasi yang dinilai mampu membawa perubahan besar dalam sistem politik Indonesia. Tetapi, bagaimana sebenarnya latar belakang aturan ini? Mengapa penghapusannya menjadi penting, dan bagaimana dampaknya terhadap demokrasi yang kamu impikan?

Apa Itu Presidential Threshold dan Bagaimana Sejarahnya?

Presidential threshold merupakan ketentuan yang mewajibkan partai politik atau gabungan partai untuk memenuhi ambang batas tertentu dalam perolehan suara pemilu legislatif agar dapat mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden. Di Indonesia, ambang batas ini ditetapkan sebesar 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional, sebagaimana diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Latar belakang penerapan aturan ini tidak terlepas dari keinginan untuk menyederhanakan sistem politik. Pada masa transisi demokrasi pascareformasi 1998, Indonesia menghadapi situasi politik yang cukup kompleks, dengan banyaknya partai yang lahir sebagai respons terhadap kebebasan politik. Pemerintah saat itu merasa perlu membatasi jumlah calon presiden agar proses pemilu tidak terlalu rumit.

Namun, di balik alasan ini, presidential threshold ternyata membawa dampak yang cukup serius terhadap demokrasi Indonesia. Seiring berjalannya waktu, aturan ini justru menjadi alat untuk memperkuat dominasi partai besar dan meminggirkan partai kecil, sehingga muncul anggapan bahwa demokrasi Indonesia semakin elitis.

Masalah yang Dihasilkan oleh Presidential Threshold

Penerapan presidential threshold menimbulkan sejumlah masalah yang mendasar. Salah satu masalah utama adalah terbatasnya pilihan calon presiden yang tersedia bagi rakyat. Ambang batas ini hanya memungkinkan partai atau koalisi yang memiliki kekuatan besar untuk mencalonkan kandidat, sehingga kandidat dari partai kecil atau calon independen praktis tidak memiliki kesempatan.

Ketimpangan ini menciptakan situasi di mana proses demokrasi tidak lagi benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat secara luas. Demokrasi yang ideal seharusnya memberikan ruang bagi setiap kelompok masyarakat untuk berpartisipasi, termasuk melalui pencalonan pemimpin. Namun, presidential threshold membatasi hal ini.

Selain itu, sistem ini juga memperkuat dominasi oligarki politik. Kandidat presiden yang muncul sering kali merupakan figur yang memiliki hubungan erat dengan elit politik atau memiliki dukungan finansial yang kuat. Hal ini mengakibatkan politik menjadi semakin eksklusif, dengan keputusan yang sering kali mencerminkan kepentingan kelompok elit daripada kebutuhan rakyat banyak.

Kamu tentu menyadari bahwa demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang memberikan kesempatan kepada semua elemen masyarakat untuk berkontribusi. Namun, presidential threshold justru menjadi hambatan bagi regenerasi politik. Kandidat-kandidat potensial yang tidak memiliki akses ke struktur partai besar terpaksa mundur dari kontestasi. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengurangi keberagaman ide dan gagasan yang seharusnya menjadi kekayaan dalam proses politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun