Di sisi lain, kritik terhadap UN juga tak kalah banyak. Salah satu isu utama adalah ketidakadilan yang muncul akibat ketimpangan fasilitas pendidikan. Di daerah perkotaan, siswa biasanya memiliki akses yang lebih baik ke sarana belajar, seperti buku, laboratorium, dan bimbingan belajar. Sementara itu, siswa di daerah terpencil kerap menghadapi keterbatasan yang signifikan, baik dalam hal fasilitas maupun tenaga pengajar yang berkualitas.
Ketimpangan ini menimbulkan kesenjangan yang sulit diabaikan. Hasil UN sering kali mencerminkan disparitas ini, sehingga siswa dari daerah tertinggal cenderung mendapatkan nilai lebih rendah. Padahal, rendahnya nilai mereka tidak selalu mencerminkan kurangnya kemampuan, melainkan keterbatasan akses terhadap pendidikan yang memadai.
Selain itu, UN sering dikritik karena memberikan tekanan psikologis yang besar kepada siswa. Banyak siswa yang merasa bahwa masa depan mereka ditentukan oleh hasil UN semata. Ketegangan ini tidak jarang berdampak pada kesehatan mental mereka, bahkan menyebabkan stres berlebihan hingga rasa putus asa.
Hal ini menunjukkan bahwa tekanan seperti ini dapat menghambat perkembangan kreativitas dan minat belajar siswa. Alih-alih belajar dengan penuh antusias, mereka cenderung hanya fokus pada hafalan untuk mencapai nilai tinggi. Akibatnya, esensi pendidikan sebagai proses pembentukan karakter dan kompetensi menjadi tereduksi.
Penghapusan Ujian Nasional Solusi atau Tantangan Baru?
Pada tahun 2020, pemerintah Indonesia mengambil langkah besar dengan menghapus Ujian Nasional, menggantikannya dengan asesmen kompetensi minimum (AKM) dan survei karakter. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap kritik yang terus berkembang mengenai efektivitas UN dalam mencerminkan potensi siswa secara holistik.
Namun, penghapusan UN bukan berarti tanpa tantangan. Salah satu isu utama yang muncul adalah bagaimana memastikan bahwa AKM benar-benar mampu menggantikan peran UN secara efektif. AKM dirancang untuk mengukur kemampuan dasar siswa dalam literasi, numerasi, dan pemecahan masalah. Namun, ada kekhawatiran bahwa asesmen ini belum sepenuhnya mencerminkan aspek pendidikan yang lebih luas, seperti keterampilan sosial, kreativitas, dan minat individu.
Selain itu, implementasi AKM membutuhkan infrastruktur dan sumber daya yang tidak kalah besar. Sekolah-sekolah di daerah tertinggal mungkin menghadapi kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan sistem baru ini, terutama jika dukungan teknis dan pelatihan bagi guru tidak mencukupi.
Dampak pada Guru dan Sistem Pengajaran
Perubahan dari UN ke AKM juga memengaruhi pendekatan pengajaran di sekolah. Sebelumnya, guru sering kali berorientasi pada persiapan UN, yang membuat metode pengajaran cenderung terfokus pada penguasaan materi ujian. Dalam konteks AKM, guru diharapkan lebih kreatif dan inovatif dalam mengajar, dengan menekankan pada pemahaman konsep dan pengembangan keterampilan berpikir kritis.
Namun, perubahan ini memerlukan waktu dan adaptasi. Banyak guru yang masih terbiasa dengan pendekatan lama dan membutuhkan pelatihan tambahan untuk menerapkan metode pengajaran yang sesuai dengan tuntutan AKM. Tanpa dukungan yang memadai, transisi ini berisiko berjalan tidak optimal.