BPJS Kesehatan adalah salah satu kebijakan paling monumental dalam sejarah sistem kesehatan Indonesia. Sejak awal kehadirannya, program ini membawa misi mulia untuk menyediakan akses layanan kesehatan yang terjangkau bagi semua masyarakat, tanpa memandang status ekonomi. Namun, di balik keberhasilannya, BPJS Kesehatan juga menghadapi tantangan besar yang menimbulkan pertanyaan: bagaimana jika suatu saat BPJS tidak lagi menjadi jaminan kesehatan di Indonesia?
Pertanyaan ini mungkin terasa spekulatif, tetapi menggali skenario ini membantu kita memahami sejauh mana masyarakat telah bergantung pada BPJS, sekaligus mengukur risiko yang dapat muncul jika program ini tidak lagi ada.
BPJS Sebagai Pilar Sistem Kesehatan
Sejak beroperasi pada 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan telah menjadi simbol perwujudan cita-cita Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia. Sistem ini menggantikan program jaminan kesehatan sebelumnya, seperti Jamkesmas dan Jamkesda, dengan tujuan menyatukan berbagai skema jaminan kesehatan di bawah satu payung nasional.
Secara teoritis, BPJS dirancang untuk menjadi solusi yang adil, di mana iuran peserta yang mampu secara finansial membantu menutupi biaya kesehatan masyarakat yang kurang mampu. Prinsip gotong royong ini sejatinya menjadi inti dari keberlanjutan sistem. Dengan iuran bulanan yang relatif terjangkau, jutaan rakyat Indonesia, termasuk kelompok masyarakat miskin, kini dapat mengakses layanan medis mulai dari pemeriksaan dasar hingga operasi kompleks.
Namun, seiring berjalannya waktu, berbagai permasalahan mulai bermunculan. Defisit anggaran yang terus membayangi, kualitas layanan yang sering kali tidak memadai, hingga kompleksitas administrasi membuat BPJS menjadi sasaran kritik.
Tantangan Besar yang Menghantui BPJS
Salah satu masalah utama yang dihadapi BPJS adalah defisit anggaran yang kronis. Dalam laporan keuangan beberapa tahun terakhir, BPJS kerap mengalami kekurangan dana yang mencapai triliunan rupiah. Penyebabnya beragam, mulai dari rendahnya tingkat kepatuhan peserta dalam membayar iuran, tingginya biaya pengobatan penyakit katastropik (penyakit berat seperti kanker, gagal ginjal, dan jantung), hingga tata kelola yang kurang efisien.
Defisit ini mencerminkan kesenjangan antara pendapatan dari iuran peserta dengan besarnya biaya layanan yang harus ditanggung. Meskipun pemerintah telah memberikan subsidi besar untuk menutupi kekurangan ini, situasi semacam ini jelas tidak dapat berlangsung selamanya.
Selain itu, kualitas layanan yang diterima peserta sering kali menjadi sorotan. Banyak pasien yang mengeluhkan panjangnya antrean, terbatasnya ketersediaan obat, dan minimnya perhatian tenaga medis. Situasi ini sering kali membuat masyarakat bertanya-tanya, apakah layanan yang mereka dapatkan sebanding dengan kontribusi yang mereka berikan?