Vasopresin, di sisi lain, berkontribusi pada pembentukan ikatan jangka panjang. Studi pada mamalia seperti tikus padang rumput menunjukkan bahwa vasopresin memiliki peran utama dalam menciptakan monogami. Hal yang sama berlaku pada manusia. Dengan adanya hormon ini, hubungan cinta tidak hanya menjadi soal gairah, tetapi juga soal komitmen dan rasa aman.
Namun, ada juga sisi gelap dari keterlibatan hormon ini. Ketika hubungan berakhir, penurunan kadar oksitosin dan vasopresin dapat menyebabkan rasa kehilangan yang mendalam. Hal ini menjelaskan mengapa putus cinta sering kali meninggalkan luka emosional yang sulit disembuhkan.
Amigdala dan Regulasi Emosi
Respons otak terhadap cinta juga melibatkan amigdala, bagian otak yang bertugas mengatur emosi, terutama yang berkaitan dengan rasa takut dan kecemasan. Menariknya, saat seseorang sedang jatuh cinta, aktivitas amigdala cenderung menurun. Penurunan ini memungkinkan seseorang untuk merasa lebih percaya diri dan kurang kritis terhadap pasangan mereka.
Namun, efek ini juga bisa menjadi pedang bermata dua. Penurunan aktivitas amigdala dapat membuat kamu cenderung mengabaikan kekurangan pasanganmu atau bahkan memaklumi perilaku yang sebenarnya merugikan. Inilah alasan mengapa cinta sering kali dianggap sebagai sesuatu yang membutakan.
Cinta dan Kesehatan Mental
Respons otak terhadap cinta tidak hanya memengaruhi emosi, tetapi juga kesehatan mental secara keseluruhan. Saat hubungan berjalan dengan baik, cinta dapat meningkatkan produksi serotonin, yang membantu menjaga suasana hati tetap stabil. Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Psychological Science menemukan bahwa orang yang berada dalam hubungan cinta yang sehat cenderung memiliki tingkat stres yang lebih rendah dan kesehatan mental yang lebih baik.
Namun, sebaliknya, hubungan yang tidak sehat atau patah hati dapat berdampak negatif pada keseimbangan kimiawi otak. Penurunan kadar serotonin, dopamin, dan oksitosin setelah putus cinta dapat menyebabkan stres emosional yang berkepanjangan, bahkan hingga depresi.
Pada kasus yang lebih serius, respons otak terhadap kehilangan cinta bisa memicu gejala yang mirip dengan gangguan obsesif-kompulsif (OCD). Ini terjadi karena otak terus-menerus mengulang kenangan dan emosi yang terkait dengan hubungan tersebut, seolah-olah mencari cara untuk "memperbaiki" situasi.
Pendekatan Ilmiah untuk Mengelola Cinta
Memahami bagaimana otak merespons cinta dapat membantu kamu menghadapi berbagai dinamika hubungan dengan lebih bijak. Misalnya, ketika kamu menyadari bahwa cinta melibatkan zat kimia yang membuatmu merasa euforia, kamu bisa lebih realistis dalam mengevaluasi hubunganmu. Selain itu, memahami peran oksitosin dan vasopresin dapat membantumu membangun hubungan yang lebih sehat dengan fokus pada rasa percaya dan komitmen.