Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Misteri Bagaimana Otak Merespon Cinta?

26 Desember 2024   16:26 Diperbarui: 26 Desember 2024   16:26 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustri Jatuh Cinta.Pixabay.com/Pexels

Vasopresin, di sisi lain, berkontribusi pada pembentukan ikatan jangka panjang. Studi pada mamalia seperti tikus padang rumput menunjukkan bahwa vasopresin memiliki peran utama dalam menciptakan monogami. Hal yang sama berlaku pada manusia. Dengan adanya hormon ini, hubungan cinta tidak hanya menjadi soal gairah, tetapi juga soal komitmen dan rasa aman.

Namun, ada juga sisi gelap dari keterlibatan hormon ini. Ketika hubungan berakhir, penurunan kadar oksitosin dan vasopresin dapat menyebabkan rasa kehilangan yang mendalam. Hal ini menjelaskan mengapa putus cinta sering kali meninggalkan luka emosional yang sulit disembuhkan.

Amigdala dan Regulasi Emosi

Respons otak terhadap cinta juga melibatkan amigdala, bagian otak yang bertugas mengatur emosi, terutama yang berkaitan dengan rasa takut dan kecemasan. Menariknya, saat seseorang sedang jatuh cinta, aktivitas amigdala cenderung menurun. Penurunan ini memungkinkan seseorang untuk merasa lebih percaya diri dan kurang kritis terhadap pasangan mereka.

Namun, efek ini juga bisa menjadi pedang bermata dua. Penurunan aktivitas amigdala dapat membuat kamu cenderung mengabaikan kekurangan pasanganmu atau bahkan memaklumi perilaku yang sebenarnya merugikan. Inilah alasan mengapa cinta sering kali dianggap sebagai sesuatu yang membutakan.

Cinta dan Kesehatan Mental

Respons otak terhadap cinta tidak hanya memengaruhi emosi, tetapi juga kesehatan mental secara keseluruhan. Saat hubungan berjalan dengan baik, cinta dapat meningkatkan produksi serotonin, yang membantu menjaga suasana hati tetap stabil. Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Psychological Science menemukan bahwa orang yang berada dalam hubungan cinta yang sehat cenderung memiliki tingkat stres yang lebih rendah dan kesehatan mental yang lebih baik.

Namun, sebaliknya, hubungan yang tidak sehat atau patah hati dapat berdampak negatif pada keseimbangan kimiawi otak. Penurunan kadar serotonin, dopamin, dan oksitosin setelah putus cinta dapat menyebabkan stres emosional yang berkepanjangan, bahkan hingga depresi.

Pada kasus yang lebih serius, respons otak terhadap kehilangan cinta bisa memicu gejala yang mirip dengan gangguan obsesif-kompulsif (OCD). Ini terjadi karena otak terus-menerus mengulang kenangan dan emosi yang terkait dengan hubungan tersebut, seolah-olah mencari cara untuk "memperbaiki" situasi.

Pendekatan Ilmiah untuk Mengelola Cinta

Memahami bagaimana otak merespons cinta dapat membantu kamu menghadapi berbagai dinamika hubungan dengan lebih bijak. Misalnya, ketika kamu menyadari bahwa cinta melibatkan zat kimia yang membuatmu merasa euforia, kamu bisa lebih realistis dalam mengevaluasi hubunganmu. Selain itu, memahami peran oksitosin dan vasopresin dapat membantumu membangun hubungan yang lebih sehat dengan fokus pada rasa percaya dan komitmen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun