Tantrum pada anak sering kali menjadi tantangan tersendiri bagi para orang tua. Momen ini bisa terjadi di tempat umum, di rumah, atau bahkan ketika kamu merasa sedang dalam kondisi terbaik untuk berinteraksi dengan si kecil. Tidak jarang, orang tua merasa kebingungan, frustrasi, atau bahkan malu saat menghadapi anak yang menangis keras, berguling di lantai, atau berteriak tanpa henti. Namun, apakah anak sering tantrum itu wajar?
Jawabannya adalah ya, dengan catatan tertentu. Tantrum adalah bagian normal dari tumbuh kembang anak, terutama pada usia dini. Namun, memahami lebih dalam apa yang menjadi penyebab, bagaimana dampaknya, serta kapan kamu perlu waspada, adalah langkah penting untuk mengelola situasi ini dengan bijak. Artikel ini akan membahas fenomena tantrum secara menyeluruh, sehingga kamu tidak hanya memahami bahwa tantrum itu wajar, tetapi juga mengerti bagaimana menanganinya dengan efektif.
Memahami Tantrum sebagai Bagian dari Perkembangan Anak
Pada dasarnya, tantrum adalah ledakan emosi yang terjadi ketika anak mengalami kesulitan dalam mengelola perasaan mereka. Biasanya, ini terjadi pada anak berusia 1 hingga 4 tahun, periode ketika kemampuan komunikasi verbal mereka masih dalam tahap perkembangan. Anak belum mampu mengekspresikan keinginan, kebutuhan, atau frustrasi mereka dengan kata-kata yang jelas. Akibatnya, mereka melampiaskan emosi tersebut melalui tangisan, teriakan, atau bahkan perilaku fisik seperti memukul atau menendang.
Dalam pandangan psikologi perkembangan, tantrum sebenarnya adalah bagian dari proses pembelajaran emosi. Anak belajar memahami dan mengekspresikan perasaan seperti marah, frustrasi, kecewa, atau sedih. Ketika mereka mengalami hambatan dalam menyampaikan apa yang dirasakan, tantrum menjadi saluran ekspresi utama.
Para ahli seperti Dr. Ross Greene, seorang psikolog anak, menjelaskan bahwa tantrum tidak hanya tentang perilaku, tetapi juga tentang keterampilan. Anak yang sering tantrum mungkin kekurangan keterampilan tertentu, seperti kemampuan untuk menunda kepuasan, memahami aturan, atau mencari solusi atas masalah sederhana.
Faktor Penyebab Anak Sering Tantrum
Salah satu alasan mengapa tantrum dianggap normal adalah karena ada banyak faktor yang memicunya, dan sebagian besar faktor ini bersifat alami. Misalnya, perkembangan otak anak pada usia balita masih dalam tahap awal. Bagian otak yang mengatur emosi (amigdala) lebih dominan daripada bagian otak yang mengontrol logika dan pengambilan keputusan (korteks prefrontal). Hal ini menyebabkan anak lebih mudah terpicu secara emosional daripada mampu berpikir rasional.
Kondisi fisik seperti kelelahan atau rasa lapar juga bisa menjadi pemicu utama tantrum. Ketika tubuh anak tidak nyaman, emosi mereka cenderung lebih labil. Selain itu, perubahan rutinitas atau lingkungan baru juga dapat membuat anak merasa cemas atau frustrasi, yang pada akhirnya memicu tantrum.
Kamu mungkin pernah memperhatikan bahwa anak sering tantrum ketika mereka merasa dibatasi, misalnya saat tidak diizinkan memegang sesuatu yang mereka inginkan. Dalam situasi seperti ini, tantrum adalah reaksi terhadap perasaan kehilangan kendali. Anak belum memahami bahwa batasan yang diberikan bertujuan untuk melindungi mereka, bukan untuk menyakiti perasaan mereka.
Dampak Tantrum terhadap Perkembangan Anak
Meskipun tantrum sering dianggap sebagai perilaku negatif, hal ini tidak sepenuhnya buruk. Dalam jangka pendek, tantrum memungkinkan anak untuk melepaskan emosi yang mereka tidak tahu cara mengatasinya. Namun, dalam jangka panjang, cara orang tua merespons tantrum sangat menentukan bagaimana anak belajar mengelola emosi mereka di masa depan.
Jika kamu merespons tantrum dengan marah atau memberikan apa yang anak inginkan untuk menghentikan tangisan mereka, anak mungkin belajar bahwa tantrum adalah cara efektif untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Sebaliknya, jika kamu merespons dengan tenang dan konsisten, anak akan belajar bahwa ada cara lain yang lebih baik untuk mengatasi frustrasi.
Dalam penelitian yang dipublikasikan di Journal of Child Psychology and Psychiatry, para ahli menemukan bahwa anak-anak yang tantrumnya sering diabaikan tanpa panduan, cenderung mengalami kesulitan dalam mengelola emosi mereka di masa dewasa. Sebaliknya, anak-anak yang diberi dukungan dan bimbingan saat tantrum memiliki kemampuan emosional yang lebih baik ketika mereka tumbuh dewasa.
Kapan Tantrum Dianggap Tidak Wajar?
Meskipun tantrum adalah bagian dari perkembangan normal, ada beberapa situasi di mana perilaku ini bisa menjadi tanda masalah yang lebih serius. Misalnya, jika tantrum terjadi terlalu sering, berlangsung sangat lama (lebih dari 30 menit), atau melibatkan perilaku ekstrem seperti menyakiti diri sendiri atau orang lain, kamu perlu waspada.
Pada anak yang lebih besar (di atas 5 tahun), tantrum yang intens bisa menjadi indikasi gangguan emosional atau perkembangan. Misalnya, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) atau gangguan spektrum autisme sering kali diiringi dengan tantrum yang sulit dikendalikan. Dalam kasus seperti ini, konsultasi dengan psikolog anak sangat disarankan untuk mengevaluasi kebutuhan anak secara mendalam.
Cara Efektif Mengatasi Tantrum
Mengelola tantrum membutuhkan kesabaran, konsistensi, dan pemahaman yang mendalam tentang kondisi anak. Salah satu langkah pertama yang penting adalah tetap tenang. Anak sering kali "mencerminkan" emosi orang tua mereka. Jika kamu tetap tenang, anak akan lebih mudah merasa aman dan tenang.
Cobalah untuk mengalihkan perhatian anak ketika tanda-tanda tantrum mulai muncul. Kadang, menawarkan sesuatu yang menarik, seperti mainan atau buku favorit, dapat mengalihkan fokus mereka dari rasa frustrasi. Namun, jika tantrum sudah terjadi, biarkan anak mengekspresikan emosi mereka tanpa intervensi yang berlebihan. Pastikan lingkungan di sekitar aman sehingga anak tidak melukai diri mereka sendiri.
Setelah tantrum mereda, ajak anak berbicara tentang apa yang mereka rasakan. Jelaskan bahwa marah adalah perasaan yang normal, tetapi penting untuk mengekspresikannya dengan cara yang lebih baik. Dengan komunikasi yang tepat, anak akan belajar memahami emosinya sendiri.
Selain itu, pastikan kamu memberikan pujian saat anak berhasil mengatasi frustrasi tanpa tantrum. Pujian positif adalah alat yang efektif untuk memperkuat perilaku baik pada anak.
Pendekatan Ilmiah dalam Mengatasi Tantrum
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh University of Minnesota, para peneliti menemukan bahwa teknik pengasuhan berbasis empati sangat efektif dalam mengurangi frekuensi tantrum pada anak. Teknik ini melibatkan pemahaman mendalam tentang emosi anak, memberikan validasi terhadap perasaan mereka, dan membantu anak menemukan cara yang lebih sehat untuk mengekspresikan diri.
Misalnya, jika anak menangis karena tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan, cobalah untuk mengakui perasaan mereka terlebih dahulu. Kamu bisa mengatakan, "Kamu marah karena ingin mainan itu, ya? Ibu/bapak mengerti. Tapi mainan itu tidak boleh dimainkan sekarang karena bisa rusak." Dengan cara ini, anak merasa bahwa perasaan mereka dihargai, meskipun mereka tidak mendapatkan apa yang diinginkan.
Kesimpulan
Tantrum pada anak adalah hal yang wajar dan bagian dari proses belajar mereka dalam mengelola emosi. Penting bagi kamu untuk memahami bahwa tantrum bukanlah tanda buruknya pengasuhan, melainkan peluang untuk membantu anak tumbuh menjadi individu yang lebih matang secara emosional.
Dengan memahami penyebab, dampak, dan cara mengelola tantrum, kamu dapat menghadapi situasi ini dengan lebih percaya diri. Jangan lupa untuk selalu memantau perkembangan anak dan mencari bantuan profesional jika diperlukan. Dengan pendekatan yang tepat, kamu tidak hanya membantu anak mengatasi tantrum, tetapi juga membekali mereka dengan keterampilan hidup yang sangat penting di masa depan.
Semoga informasi ini bermanfaat dan membantu kamu menjadi orang tua yang lebih siap dalam menghadapi tantangan tumbuh kembang anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H