Generasi Z cenderung memiliki nilai hidup yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Jika orang tua atau kakek-nenek mereka menjadikan keluarga sebagai prioritas utama, Generasi Z lebih fokus pada pencapaian pribadi, kebebasan, dan kesehatan mental.
Perubahan nilai ini tidak terjadi tanpa alasan. Banyak Generasi Z yang melihat pernikahan dan memiliki anak sebagai komitmen besar yang membutuhkan pengorbanan. Dalam dunia yang semakin kompetitif, mereka lebih memilih untuk mengejar pendidikan tinggi, membangun karier, atau mengeksplorasi minat pribadi sebelum memikirkan untuk membangun keluarga.
Pandangan ini juga diperkuat oleh kondisi ekonomi yang tidak menentu. Biaya hidup yang semakin tinggi, terutama di kota-kota besar, membuat banyak Generasi Z merasa sulit untuk memenuhi kebutuhan dasar, apalagi menambah tanggung jawab dengan membesarkan anak.
Masalah Mental dan EmosionalÂ
Salah satu isu paling serius yang dihadapi Generasi Z adalah kesehatan mental. Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa gangguan mental, seperti kecemasan dan depresi, semakin meningkat di kalangan anak muda. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk tekanan akademis, persaingan di dunia kerja, dan pengaruh media sosial.
Ketika seseorang memiliki masalah mental yang belum terselesaikan, membesarkan anak bisa menjadi tantangan yang sangat berat. Membesarkan anak membutuhkan kestabilan emosi, kesabaran, dan kemampuan untuk menghadapi tekanan. Tanpa kesiapan mental yang memadai, tanggung jawab ini dapat berujung pada konflik keluarga, kelelahan emosional, atau bahkan pengabaian terhadap anak.
Banyak Generasi Z yang merasa tidak memiliki dukungan emosional yang cukup dari keluarga atau lingkungan. Akibatnya, mereka merasa kesulitan untuk membangun kepercayaan diri dan kesiapan mental untuk menjadi orang tua.
Pengalaman Masa Kecil yang Membentuk Perspektif
Pengalaman masa kecil juga memainkan peran penting dalam membentuk pandangan Generasi Z terhadap pengasuhan anak. Banyak dari mereka yang tumbuh dalam keluarga dengan pola asuh yang otoriter atau kurang suportif. Hal ini meninggalkan trauma emosional yang sulit disembuhkan.
Bagi sebagian Generasi Z, trauma masa kecil ini menciptakan ketakutan akan tanggung jawab sebagai orang tua. Mereka tidak ingin mengulang kesalahan yang sama atau merasa bahwa mereka tidak cukup mampu untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak mereka.
Di sisi lain, ada pula yang merasa bahwa mereka belum menemukan pola asuh yang tepat. Dengan minimnya pendidikan emosional di sekolah atau lingkungan, Generasi Z sering kali merasa bingung tentang bagaimana cara menjadi orang tua yang baik.