Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, kelas sosial masih menjadi salah satu isu yang jarang disorot secara mendalam. Padahal, dampaknya merasuki hampir setiap aspek kehidupan kita. Dari peluang pendidikan hingga akses terhadap pekerjaan yang layak, kelas sosial sering kali menjadi sekat tak terlihat yang membatasi mobilitas seseorang. Lebih parahnya, kelas sosial yang pada awalnya merupakan deskripsi kondisi ekonomi atau posisi dalam masyarakat kini sering digunakan sebagai alat diskriminasi. Fenomena ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menghambat kemajuan sosial secara keseluruhan.
Bayangkan kamu berada dalam sebuah lingkungan perkantoran elit. Seorang manajer baru hadir dengan latar belakang pendidikan dari universitas ternama dan pakaian yang mencerminkan status ekonominya. Sementara itu, seorang karyawan lama, yang telah bertahun-tahun membuktikan kompetensinya, hanya dipandang sebelah mata karena ia berasal dari daerah terpencil dan tidak memiliki latar belakang pendidikan serupa. Di sini, bukan hanya kompetensi yang diabaikan, tetapi juga martabat individu.
Diskriminasi berbasis kelas sosial memang kerap terjadi secara halus, tetapi dampaknya sangat nyata dan sering kali meninggalkan luka yang dalam bagi mereka yang menjadi korbannya.
Asal Usul Kelas Sosial dan Implikasinya
Kelas sosial adalah konsep yang telah ada sejak lama dalam peradaban manusia. Pada era feodal, kelas sosial ditentukan oleh kelahiran. Kaum bangsawan, yang memegang kekuasaan dan kekayaan, memanfaatkan status mereka untuk menekan kaum petani dan pekerja. Sistem ini bertahan selama berabad-abad, membangun hierarki sosial yang sulit ditembus.
Namun, meskipun dunia telah mengalami modernisasi, jejak-jejak stratifikasi sosial masih bertahan hingga saat ini. Kelas sosial kini lebih sering dikaitkan dengan faktor ekonomi, pendidikan, dan pekerjaan. Sayangnya, alih-alih menjadi alat analisis untuk memahami kesenjangan, kelas sosial justru sering dijadikan pembenaran untuk memperlakukan seseorang dengan tidak adil.
Contoh nyata dari hal ini adalah stigma terhadap mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi rendah. Banyak orang beranggapan bahwa kemiskinan adalah hasil dari kurangnya usaha atau kemalasan. Narasi ini, yang sering kali disebarkan oleh media dan masyarakat kelas atas, mengabaikan fakta bahwa kemiskinan sering kali merupakan hasil dari sistem yang tidak adil.
Menurut data dari World Bank, lebih dari 700 juta orang di dunia hidup dalam kemiskinan ekstrem, dengan akses terbatas terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan pekerjaan yang layak. Di Indonesia sendiri, meskipun tingkat kemiskinan menurun dalam beberapa dekade terakhir, ketimpangan masih menjadi tantangan besar. Mereka yang lahir dalam keluarga miskin memiliki peluang yang jauh lebih kecil untuk memperbaiki kondisi mereka dibandingkan mereka yang lahir dalam keluarga kaya.
Pendidikan Ladang Subur untuk Diskriminasi Kelas Sosial
Pendidikan seharusnya menjadi jalan utama untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Namun, kenyataannya, sistem pendidikan sering kali memperkuat diskriminasi berbasis kelas sosial.