Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Perjalanan Soto dan Transformasinya dari Masa ke Masa

18 Desember 2024   11:47 Diperbarui: 18 Desember 2024   11:47 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi soto ayam lamongan. (DOK.SHUTTERSTOCK/Aris Setya)

Soto adalah hidangan khas Indonesia yang begitu akrab di lidah masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Setiap sendokan soto yang hangat membawa kombinasi rasa gurih, aroma rempah, dan tekstur lembut yang menyenangkan. Namun, soto bukan hanya sekadar makanan. Hidangan ini adalah saksi perjalanan sejarah, simbol adaptasi budaya, dan bukti kreativitas kuliner Nusantara. Dalam setiap mangkuk soto, menyimpan cerita panjang tentang asal-usul, perkembangan, hingga transformasinya di tengah perubahan zaman.

Asal  Usul dari  Soto

Jika menelusuri jejak sejarah, soto sebenarnya tidak sepenuhnya asli Indonesia. Hidangan ini diyakini memiliki keterkaitan erat dengan budaya kuliner Tiongkok, yang masuk ke Nusantara melalui jalur perdagangan pada abad ke-9 hingga ke-15. Pada masa itu, pedagang Tiongkok membawa makanan seperti sup berbahan dasar kaldu daging yang dikenal dengan nama caudo.

Caudo memiliki cita rasa sederhana, dengan bahan utama daging dan kaldu tanpa banyak rempah. Ketika hidangan ini sampai di tanah Nusantara, masyarakat lokal mulai menambahkan rempah-rempah khas seperti kunyit, jahe, serai, dan daun jeruk. Hasilnya, soto dengan warna kuning yang khas pun tercipta. Kata "soto" sendiri dianggap merupakan adaptasi fonetik dari "caudo", mencerminkan proses akulturasi yang terjadi antara pedagang Tiongkok dan masyarakat pribumi.

Perkembangan Soto di Masa Kolonial

Pada masa penjajahan Belanda, soto mulai mendapatkan tempat istimewa di tengah masyarakat Indonesia. Hidangan ini berkembang menjadi makanan rakyat yang populer karena mudah dibuat, fleksibel, dan menggunakan bahan yang terjangkau. Soto pada masa itu sering kali dibuat dengan bahan-bahan seperti jeroan, potongan daging sisa, atau sayuran yang tersedia.

Hal ini mencerminkan kearifan lokal masyarakat Indonesia dalam menghadapi tantangan ekonomi yang sulit. Soto menjadi simbol perjuangan hidup, di mana kreativitas digunakan untuk mengolah bahan-bahan sederhana menjadi makanan yang lezat dan bergizi. Di pasar-pasar tradisional, pedagang soto mulai bermunculan, menjajakan makanan hangat yang mengenyangkan dengan harga terjangkau.

Meskipun pada masa kolonial masyarakat pribumi sering kali mengalami diskriminasi sosial, kuliner seperti soto menjadi ruang di mana semua orang bisa berkumpul. Hidangan ini tidak mengenal strata sosial. Baik buruh, petani, hingga kaum menengah, semuanya menikmati soto sebagai makanan yang memuaskan kebutuhan mereka.

Keragaman Soto di Nusantara

Salah satu keunikan soto adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan kearifan lokal di berbagai daerah di Indonesia. Masing-masing daerah memiliki versi soto yang berbeda, mencerminkan bahan, tradisi, dan selera masyarakat setempat. Namun, semua tetap berbagi akar yang sama: sup hangat berbumbu dengan isi yang melimpah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun