Pajak adalah urat nadi pembangunan sebuah negara. Dari pajak, sebuah bangsa membangun infrastruktur, mendanai pendidikan, menjamin kesehatan publik, hingga menggerakkan roda pemerintahan.Â
Namun, di balik retorika mulia ini, banyak masyarakat yang memandang pajak dengan skeptisisme. Mengapa demikian? Karena rasa keadilan yang diharapkan dalam sistem perpajakan sering kali terasa timpang.Â
Tahun 2025 menjadi momen krusial bagi Indonesia untuk melahirkan skema pajak baru yang tidak hanya adil, tetapi juga beradab, guna memastikan kemakmuran bersama dapat tercapai tanpa mengorbankan kelompok masyarakat tertentu.
Namun, apa artinya pajak yang adil? Dan mengapa skema yang beradab penting untuk diwujudkan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu menelusuri masalah yang sudah ada, mendalami kompleksitas kebijakan pajak saat ini, dan memetakan jalan keluar yang solutif.
Ketimpangan yang Masih Mengakar
Ketimpangan dalam sistem perpajakan di Indonesia bukanlah isu baru. Selama bertahun-tahun, sistem ini menghadapi dua tantangan besar: penghindaran pajak oleh kelompok kaya dan beban pajak yang cenderung lebih besar dirasakan oleh kelompok menengah ke bawah.
Menurut laporan dari Global Financial Integrity, Indonesia kehilangan lebih dari 6 miliar dolar AS setiap tahun akibat praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional.Â
Modus yang sering digunakan adalah transfer pricing, di mana keuntungan perusahaan dilaporkan di negara dengan tarif pajak lebih rendah meskipun sebagian besar kegiatan usahanya dilakukan di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga menciptakan ketidakadilan bagi pelaku usaha kecil yang tidak memiliki akses ke mekanisme kompleks semacam itu.
Di sisi lain, masyarakat berpenghasilan rendah hingga menengah menghadapi tantangan berbeda. Sebagai contoh, pajak penghasilan yang langsung dipotong dari gaji pegawai (PPh 21) membuat kelompok ini tidak punya pilihan selain mematuhi aturan. Sementara itu, pekerja informal atau mereka yang berada di sektor UMKM sering kali tidak terjangkau oleh sistem pajak formal, sehingga terjadi jurang kontribusi yang signifikan.
Belum lagi persoalan pajak tidak langsung seperti pajak pertambahan nilai (PPN), yang berlaku sama untuk semua lapisan masyarakat. Dalam kenyataannya, pajak ini justru membebani kelompok miskin lebih berat karena proporsi penghasilan mereka yang dihabiskan untuk konsumsi jauh lebih besar dibandingkan kelompok kaya. Dengan kata lain, mereka yang kurang mampu justru membayar pajak secara proporsional lebih besar.