Antara Kepentingan Negara dan Beban Masyarakat
Kebijakan pajak sering kali menjadi medan tarik-menarik antara kebutuhan negara untuk meningkatkan penerimaan dan upaya menjaga daya beli masyarakat. Pada 2025 nanti, pemerintah berencana menerapkan beberapa kebijakan baru, termasuk pengenalan pajak karbon dan penyesuaian tarif pajak penghasilan untuk kelompok berpenghasilan tinggi.
Namun, tantangan terbesar adalah memastikan kebijakan ini tidak mencederai rasa keadilan. Sebagai contoh, penerapan pajak karbon memang memiliki tujuan mulia untuk menekan emisi gas rumah kaca. Namun, jika tidak diatur dengan hati-hati, kebijakan ini dapat memukul sektor-sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian rakyat kecil, seperti industri transportasi dan pertanian.
Pemerintah perlu belajar dari pengalaman negara lain. Di Prancis, misalnya, kebijakan pajak karbon yang diterapkan pada 2018 memicu protes besar-besaran yang dikenal sebagai gerakan “Rompi Kuning” (Gilets Jaunes). Protes ini terjadi karena masyarakat merasa kebijakan tersebut lebih membebani mereka yang tinggal di pedesaan dan bergantung pada kendaraan pribadi untuk mobilitas, sementara kelompok kaya tetap dapat menikmati subsidi energi.
Sebuah Paradigma Baru dalam Kebijakan Pajak
Keadilan dalam pajak tidak cukup hanya diukur dari siapa yang membayar berapa besar. Keadilan juga harus mencakup bagaimana pajak tersebut dikumpulkan dan untuk apa pajak itu digunakan. Prinsip "beradab" dalam perpajakan berarti pemerintah harus memahami bahwa pajak bukan sekadar angka, melainkan bagian dari kontrak sosial antara negara dan rakyatnya.
Pertama, pajak yang beradab harus mempertimbangkan kemampuan membayar (ability to pay) dari setiap individu atau entitas. Dalam hal ini, prinsip progressive tax atau pajak progresif menjadi penting, di mana tarif pajak meningkat seiring dengan naiknya penghasilan. Kebijakan seperti ini tidak hanya lebih adil secara ekonomi, tetapi juga dapat mengurangi ketimpangan pendapatan.
Kedua, skema pajak yang beradab harus menghindari pengenaan pajak ganda yang merugikan kelompok masyarakat tertentu. Contohnya, pajak pada bahan kebutuhan pokok, seperti beras dan minyak goreng, seharusnya ditiadakan. Langkah ini penting untuk meringankan beban masyarakat berpenghasilan rendah yang sangat sensitif terhadap fluktuasi harga kebutuhan dasar.
Ketiga, pajak yang beradab menuntut transparansi dan akuntabilitas. Salah satu alasan mengapa banyak masyarakat enggan membayar pajak adalah karena mereka merasa tidak tahu ke mana uang mereka digunakan. Dalam survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center pada 2021, sebanyak 47% responden mengatakan bahwa kurangnya transparansi pemerintah menjadi alasan utama mereka tidak percaya pada sistem pajak.
Solusi Menuju Skema Pajak 2025 yang Lebih Baik
Membangun sistem pajak yang adil dan beradab memerlukan reformasi yang komprehensif. Langkah pertama adalah mengoptimalkan basis data wajib pajak melalui integrasi data lintas lembaga. Dengan memanfaatkan teknologi big data, pemerintah dapat melacak potensi penerimaan pajak dari sektor informal, sekaligus menutup celah yang sering dimanfaatkan oleh pelaku penghindaran pajak.