Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Skema Pajak 2025, Mewujudkan Sistem Perpajakan yang Adil dan Beradap

18 Desember 2024   09:46 Diperbarui: 18 Desember 2024   09:46 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Rupiah.Pixabay.com/IqbalStock 

Pajak adalah urat nadi pembangunan sebuah negara. Dari pajak, sebuah bangsa membangun infrastruktur, mendanai pendidikan, menjamin kesehatan publik, hingga menggerakkan roda pemerintahan. Namun, di balik retorika mulia ini, banyak masyarakat yang memandang pajak dengan skeptisisme. Mengapa demikian? Karena rasa keadilan yang diharapkan dalam sistem perpajakan sering kali terasa timpang. Tahun 2025 menjadi momen krusial bagi Indonesia untuk melahirkan skema pajak baru yang tidak hanya adil, tetapi juga beradab, guna memastikan kemakmuran bersama dapat tercapai tanpa mengorbankan kelompok masyarakat tertentu.

Namun, apa artinya pajak yang adil? Dan mengapa skema yang beradab penting untuk diwujudkan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu menelusuri masalah yang sudah ada, mendalami kompleksitas kebijakan pajak saat ini, dan memetakan jalan keluar yang solutif.

Ketimpangan yang Masih Mengakar

Ketimpangan dalam sistem perpajakan di Indonesia bukanlah isu baru. Selama bertahun-tahun, sistem ini menghadapi dua tantangan besar: penghindaran pajak oleh kelompok kaya dan beban pajak yang cenderung lebih besar dirasakan oleh kelompok menengah ke bawah.

Menurut laporan dari Global Financial Integrity, Indonesia kehilangan lebih dari 6 miliar dolar AS setiap tahun akibat praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Modus yang sering digunakan adalah transfer pricing, di mana keuntungan perusahaan dilaporkan di negara dengan tarif pajak lebih rendah meskipun sebagian besar kegiatan usahanya dilakukan di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga menciptakan ketidakadilan bagi pelaku usaha kecil yang tidak memiliki akses ke mekanisme kompleks semacam itu.

Di sisi lain, masyarakat berpenghasilan rendah hingga menengah menghadapi tantangan berbeda. Sebagai contoh, pajak penghasilan yang langsung dipotong dari gaji pegawai (PPh 21) membuat kelompok ini tidak punya pilihan selain mematuhi aturan. Sementara itu, pekerja informal atau mereka yang berada di sektor UMKM sering kali tidak terjangkau oleh sistem pajak formal, sehingga terjadi jurang kontribusi yang signifikan.

Belum lagi persoalan pajak tidak langsung seperti pajak pertambahan nilai (PPN), yang berlaku sama untuk semua lapisan masyarakat. Dalam kenyataannya, pajak ini justru membebani kelompok miskin lebih berat karena proporsi penghasilan mereka yang dihabiskan untuk konsumsi jauh lebih besar dibandingkan kelompok kaya. Dengan kata lain, mereka yang kurang mampu justru membayar pajak secara proporsional lebih besar.

Antara Kepentingan Negara dan Beban Masyarakat

Kebijakan pajak sering kali menjadi medan tarik-menarik antara kebutuhan negara untuk meningkatkan penerimaan dan upaya menjaga daya beli masyarakat. Pada 2025 nanti, pemerintah berencana menerapkan beberapa kebijakan baru, termasuk pengenalan pajak karbon dan penyesuaian tarif pajak penghasilan untuk kelompok berpenghasilan tinggi.

Namun, tantangan terbesar adalah memastikan kebijakan ini tidak mencederai rasa keadilan. Sebagai contoh, penerapan pajak karbon memang memiliki tujuan mulia untuk menekan emisi gas rumah kaca. Namun, jika tidak diatur dengan hati-hati, kebijakan ini dapat memukul sektor-sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian rakyat kecil, seperti industri transportasi dan pertanian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun