Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pemimpin Daerah Dipilih DPRD, Apakah Sistem ini Layak Diterapkan Kembali?

16 Desember 2024   08:24 Diperbarui: 16 Desember 2024   08:24 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pilkada(KOMPAS.COM/HANDOUT)

Sejak reformasi bergulir pada akhir 1990-an, wajah demokrasi Indonesia mengalami transformasi besar-besaran. Salah satu perubahan yang paling mencolok adalah sistem pemilihan kepala daerah, di mana rakyat mendapatkan hak untuk memilih secara langsung pemimpin mereka, mulai dari gubernur, bupati, hingga wali kota. Namun, menjadi perbincangan hangat karna pernyataan pak prabowo untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Perbincangan ini menuai pro dan kontra, menggiring kita pada pertanyaan mendasar apakah sistem ini masih relevan untuk diterapkan di Indonesia saat ini?

Pemilu Langsung Sebuah Pencapaian Demokrasi

Pemilu langsung lahir dari semangat reformasi yang menuntut desentralisasi kekuasaan dan memperluas partisipasi rakyat dalam demokrasi. Sebelum reformasi, pemimpin daerah dipilih oleh DPRD, yang dianggap sebagai perpanjangan tangan dari rezim Orde Baru. Sistem ini sering kali dikritik karena memicu oligarki politik dan minimnya transparansi dalam proses pemilihan.

Dengan diperkenalkannya pemilu langsung pada tahun 2005, rakyat diberikan suara penuh untuk menentukan siapa yang layak memimpin mereka. Sistem ini dianggap lebih demokratis karena memberikan hak kepada masyarakat untuk memilih pemimpin sesuai preferensi dan kebutuhan mereka. Harapannya, pemimpin yang terpilih melalui suara rakyat akan lebih bertanggung jawab kepada masyarakat daripada kepada partai politik atau kelompok tertentu.

Namun, pelaksanaan pemilu langsung tidak sepenuhnya mulus. Dalam praktiknya, sistem ini menghadirkan berbagai tantangan, seperti tingginya biaya politik, praktik politik uang, dan polarisasi di masyarakat. Fenomena ini membuat sebagian pihak mulai mempertanyakan efektivitas pemilu langsung dalam menghasilkan pemimpin yang berkualitas.

Mengapa Wacana Pemilihan oleh DPRD Kembali Muncul?

Keinginan untuk mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah ke DPRD bukan tanpa alasan. Salah satu argumen utamanya adalah efisiensi biaya. Pemilu langsung, terutama dalam skala daerah, membutuhkan anggaran yang sangat besar. Mulai dari biaya logistik, pelaksanaan kampanye, hingga pengawasan. Dalam situasi ekonomi yang semakin menantang, ada kekhawatiran bahwa anggaran negara atau daerah yang seharusnya digunakan untuk pembangunan justru tersedot habis untuk pembiayaan pemilu.

Selain itu, pemilu langsung juga sering dikaitkan dengan maraknya politik uang. Dengan banyaknya pemilih yang terlibat, peluang bagi kandidat untuk membeli suara semakin besar. Studi menunjukkan bahwa politik uang menjadi salah satu tantangan utama dalam demokrasi Indonesia. Ini menciptakan persepsi bahwa pemimpin terpilih lebih mengutamakan kepentingan mereka untuk "mengembalikan modal" daripada benar-benar melayani rakyat.

Di sisi lain, pemilu langsung juga sering kali memicu konflik horizontal di masyarakat. Ketika kandidat yang didukung kalah, tidak jarang pendukungnya terlibat dalam aksi protes hingga bentrokan. Situasi ini menciptakan ketidakstabilan sosial yang justru merugikan masyarakat itu sendiri. Dengan kembali ke sistem pemilihan oleh DPRD, proses pemilihan dianggap lebih sederhana dan minim risiko konflik.

Namun, meskipun argumen ini terdengar masuk akal, sistem pemilihan oleh DPRD juga memiliki kelemahan yang tidak kalah serius. Salah satunya adalah potensi korupsi dan kolusi di antara anggota DPRD itu sendiri. Dalam konteks ini, kita harus bertanya: apakah kita hanya memindahkan masalah dari pemilu langsung ke pemilu tidak langsung?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun