Bakmi adalah salah satu kuliner yang tidak pernah kehilangan daya tariknya. Makanan yang sederhana, tetapi kaya rasa ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, mulai dari gerobak pinggir jalan hingga restoran mewah. Namun, di balik kelezatan semangkuk bakmi, juga terselip cerita panjang yang membawa kita ke masa lampau. Sejarah bakmi adalah sejarah tentang perjalanan budaya, adaptasi, dan harmoni, yang membentuk bagaimana makanan ini dipersepsikan dan dinikmati di Indonesia.
Perjalanan dari Tiongkok ke Nusantara
Sejarah bakmi bermula dari Tiongkok, negara yang dikenal sebagai tempat asal banyak kuliner berbasis mie. Dalam bahasa Hokkien, istilah "bakmi" terdiri dari dua kata: "bak" yang berarti daging, dan "mi" yang berarti mie. Di Tiongkok, bakmi telah menjadi bagian dari tradisi kuliner selama ribuan tahun, khususnya di wilayah selatan seperti Fujian dan Guangdong, di mana mie berbasis tepung gandum menjadi bahan pokok.
Bakmi mulai masuk ke Nusantara melalui jalur perdagangan dan migrasi pada abad ke-13 hingga ke-15. Pada masa itu, para pedagang dan imigran Tionghoa membawa serta tradisi dan resep masakan mereka, termasuk bakmi. Mereka memperkenalkan hidangan ini kepada masyarakat setempat sebagai bagian dari budaya kuliner yang mereka bawa. Awalnya, bakmi disajikan dengan bahan dan rasa yang sangat autentik, seperti mie gandum dengan kuah kaldu, sayuran, dan daging babi. Namun, seiring berjalannya waktu, hidangan ini mulai beradaptasi dengan selera lokal yang dapat dicicipi semua kalangan di Indonesia.
Adaptasi Bakmi dalam Budaya Nusantara
Saat masuk ke Nusantara, bakmi mengalami perubahan besar. Salah satu faktor utama adalah perbedaan budaya dan agama di Indonesia. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, penggunaan daging babi dalam hidangan bakmi menjadi kurang diterima di banyak daerah. Sebagai gantinya, daging ayam dan sapi mulai digunakan sebagai bahan utama, sehingga terciptalah varian bakmi ayam yang saat ini sangat populer.
Tidak hanya bahan yang mengalami perubahan, tetapi juga bumbu dan cara penyajiannya. Bakmi yang awalnya bercita rasa sederhana mulai diperkaya dengan rempah-rempah khas Indonesia, seperti bawang putih, bawang merah, dan lada. Kecap manis, yang merupakan produk lokal, juga ditambahkan untuk memberikan rasa yang khas dan berbeda dari versi aslinya di Tiongkok.
Di beberapa daerah, bakmi juga diolah dengan cara unik yang mencerminkan karakter lokal. Misalnya, Bakmi Jawa dimasak menggunakan anglo (tungku tradisional) dan dicampur dengan bumbu-bumbu seperti kemiri, daun salam, dan santan, menciptakan rasa yang sangat berbeda dari bakmi Tiongkok. Selain itu, bakmi di daerah Sumatra sering kali disajikan dengan cita rasa pedas, mencerminkan kecintaan masyarakat setempat terhadap makanan berbumbu kuat.
Perkembangan Bakmi di Era Kolonial
Di era kolonial Belanda, bakmi mulai mendapatkan popularitas yang lebih luas. Pada masa itu, komunitas Tionghoa memainkan peran penting dalam perekonomian lokal, termasuk dalam industri makanan. Warung bakmi bermunculan di berbagai kota besar seperti Batavia (Jakarta), Semarang, dan Surabaya, menjadi tempat makan favorit bagi masyarakat dari berbagai latar belakang.