Di tengah derasnya arus modernisasi, teknologi digital mengubah hampir setiap aspek kehidupan, termasuk peran seorang ayah dalam keluarga. Ayah tidak lagi sekadar pencari nafkah, tetapi juga dipandang sebagai figur pengasuh yang harus mampu membangun hubungan emosional dengan anak. Namun, perubahan ini tidak selalu berjalan mulus. Fenomena yang kini dikenal sebagai daddy blues menjadi salah satu tantangan besar yang dihadapi para ayah di era ini.
Daddy blues menggambarkan kondisi emosional ayah yang merasa kewalahan, cemas, atau bahkan depresi akibat tekanan peran baru mereka. Meski sering dianggap sebagai isu sepele dibandingkan dengan baby blues yang dialami ibu, fenomena ini justru berpotensi menciptakan dampak negatif yang signifikan jika tidak segera disadari dan ditangani dengan baik.
Transformasi Peran Ayah di Era Modern
Di masa lalu, peran ayah cenderung sederhana dan berpusat pada tanggung jawab finansial. Ayah jarang terlibat dalam pengasuhan anak secara langsung karena tugas tersebut lebih sering dianggap sebagai tanggung jawab ibu. Namun, di era digital, konsep keluarga modern telah bergeser.
Peran ayah kini mencakup berbagai aspek: menjadi pengasuh, pendidik, motivator, dan mitra sejajar bagi pasangan. Perubahan ini tentu membawa dampak positif, terutama bagi perkembangan anak. Sebuah penelitian yang diterbitkan oleh American Psychological Association menyebutkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan secara aktif dapat meningkatkan kepercayaan diri anak, prestasi akademik, hingga kemampuan sosial mereka.
Namun, perubahan besar ini juga membawa tantangan yang tidak bisa diabaikan. Ayah tidak hanya dituntut hadir secara fisik, tetapi juga emosional, bahkan di tengah tekanan pekerjaan yang semakin meningkat akibat konektivitas yang tiada henti. Pesan kerja, rapat daring, dan target perusahaan sering kali mencuri waktu berharga yang seharusnya dialokasikan untuk keluarga.
Tekanan Sosial dan Dampak Media Sosial
Kehadiran media sosial turut memperbesar tekanan yang dirasakan ayah modern. Di layar ponsel, kita sering melihat unggahan keluarga ideal: ayah yang tersenyum sambil bermain dengan anaknya, liburan keluarga yang tampak sempurna, atau keberhasilan seorang ayah menjalankan perannya tanpa cela. Sayangnya, realitas tidak selalu seindah apa yang tampak di media sosial.
Ayah sering merasa gagal ketika membandingkan dirinya dengan gambaran ideal tersebut. Fenomena ini dikenal sebagai comparison trap atau perangkap perbandingan. Tanpa disadari, ayah mulai mempertanyakan kemampuannya, merasa tidak cukup baik, dan terjebak dalam rasa bersalah yang berlebihan. Kondisi ini menjadi pemicu stres, bahkan depresi, yang dikenal sebagai daddy blues.
Daddy blues bukan hanya sekadar rasa lelah fisik. Ini adalah kombinasi dari tekanan psikologis, emosional, dan sosial yang dirasakan ayah karena tidak mampu memenuhi ekspektasi baik dari dirinya sendiri maupun dari lingkungan sekitarnya.