Media Sosial Ladang Subur untuk KepoÂ
Perkembangan teknologi telah mengubah cara orang "kepo." Media sosial memungkinkan seseorang untuk mengakses informasi pribadi orang lain dengan sangat mudah. Tidak hanya teman dekat, bahkan kehidupan orang yang sama sekali tidak dikenal bisa diintip melalui unggahan-unggahan mereka.
Bayangkan seorang influencer yang mengunggah video liburan di Bali. Dalam beberapa menit, ratusan bahkan ribuan komentar muncul, mulai dari pujian hingga pertanyaan pribadi seperti, "Nginep di mana? Sama siapa ke sananya?" Hal ini menunjukkan bagaimana batas antara kehidupan pribadi dan publik semakin kabur. Orang merasa memiliki hak untuk tahu lebih banyak, hanya karena informasi itu ada di internet.
Menurut sebuah studi dari Journal of Social Media Studies, 72% pengguna media sosial mengakui bahwa mereka sering "mengintip" akun orang lain tanpa alasan jelas. Aktivitas ini sering kali dilandasi rasa penasaran, kecemburuan, atau sekadar kebiasaan. Hal ini mempertegas bagaimana kepo kini tidak lagi terbatas pada interaksi tatap muka, tetapi juga merambah ke dunia digital.
Dampak Kepo terhadap Psikologi dan Hubungan Sosial
Budaya kepo yang tidak terkendali memiliki dampak yang luas, baik secara individu maupun kolektif. Di tingkat individu, rasa ingin tahu yang berlebihan sering kali membuat seseorang lupa fokus pada dirinya sendiri. Mereka terlalu sibuk memantau kehidupan orang lain hingga mengabaikan pengembangan diri.
Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang seharusnya menyelesaikan tugas akhir justru menghabiskan waktu berjam-jam memantau unggahan teman-temannya di media sosial. Ia mungkin merasa terhibur, tetapi pada akhirnya, ia kehilangan banyak waktu berharga. Lebih buruk lagi, kebiasaan ini sering kali memunculkan perasaan iri atau rendah diri ketika melihat pencapaian orang lain yang tampak lebih baik.
Di sisi lain, secara sosial, kepo dapat memicu konflik dan merusak hubungan. Misalnya, gosip yang beredar dari hasil "mengintip" media sosial seseorang sering kali tidak akurat dan justru memperburuk situasi. Orang yang menjadi sasaran gosip mungkin merasa tertekan, malu, atau bahkan kehilangan kepercayaan kepada lingkungannya.
Sebuah penelitian dari International Journal of Social Psychology menemukan bahwa 68% konflik interpersonal di tempat kerja dipicu oleh penyebaran informasi pribadi yang didapat melalui media sosial atau obrolan informal. Angka ini menunjukkan betapa seriusnya dampak budaya kepo jika tidak dikelola dengan baik.
Bagaimana Kita Bisa Mengelola Budaya Kepo?
Meski tampaknya sulit, budaya kepo sebenarnya bisa dikelola agar tidak merugikan. Hal pertama yang perlu kamu lakukan adalah menyadari batasan antara rasa ingin tahu yang sehat dan yang merugikan. Kepo yang sehat adalah ketika kamu bertanya atau mencari tahu dengan niat baik, misalnya untuk membantu atau memahami seseorang lebih baik. Sebaliknya, kepo yang merugikan adalah ketika rasa ingin tahu itu muncul tanpa alasan jelas, atau bahkan melibatkan pelanggaran privasi.